Lelaki tua menjelang 80-an itu menatap istrinya. Lekat-lekat. Nanar. Gadis itu masih terlalu belia. Baru saja mekar. Ini bukan persekutuan yang mudah. Tapi ia sudah memutuskan untuk mencintainya. Sebentar kemudian ia pun berkata,"Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya kebaikan yang kamu temui di sini".Itulah kalimat pertama Utsman bin Affan ketika menyambut istri terakhirnya dari Syam, Naila. Selanjutnya adalah bukti.
Sebab cinta adalah kata lain dari memberi. sebab memberi adalah pekerjaan.. sebab pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu berat. sebab pekerjaan berat itu harus ditunaikan dalam waktu lama. sebab pekerjaan berat dalam waktu lama begitu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki kepribadian kuat dan tangguh.
maka setiap orang hendaklah berhati-hati saat ia mengatakan, "Aku mencintaimu". Kepada siapapun! Sebab itu adalah keputusan besar. Ada taruhan kepribadian disitu.
Aku mencintaimu, adalah ungkapan lain dari Aku ingin memberimu sesuatu. Yang terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari,
"Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia..."
"aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin..."
"aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku, proses pertumbuhan dirimu, melalui kebajikan harian yang akan kulakukan padamu ..."
"aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu...."
Dan proses pertumbuhan itu taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadap integritas kepribadian kita. Sekali kamu mengatakan kepada seseorang, "Aku mencintaimu", kamu harus membuktikan ucapan itu. Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi terutama tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi. Sekali deklarasi cinta tidak terbukti, kepercayaan hilang lenyap.
Tidak ada cinta tanpa kepercayaan. Begitulah bersama waktu suami atau istri kehilangan kepercayaan kepada pasangannya. Atau anak kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya. Atau sahabat kehilangan kepercayaan kepada kawannya. Atau rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya. Semua dalam satu situasi: cinta yang tidak terbukti.
Ini yang menjelaskan mengapa cinta yang terasa begitu panas membara di awal hubungan lantas jadi redup dan padam pada tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Dan tiba-tiba saja perkawinan bubar, persahabatan berakhir, keluarga berantakan, atau pemimpin jatuh karena tidak dipercaya rakyatnya.
Jalan hidup kita biasanya tidak linear. Tidak juga seterusnya pendakian. Atau penurunan. Karena itu, konteks di mana pekerjaan-pekerjaan cinta dilakukan tidak selalu kondusif secara emosional.
Tapi disitulah tantangannya: membuktikan ketulusan di tengah situasi-situasi yang sulit. Di situ konsistensi teruji. Di situ juga integritas terbukti. Sebab mereka yang bisa mengejawantahkan cinta di tengah situasi yang sulit, jauh lebih bisa membuktikannya dalam waktu yang longgar.
Mereka yang dicintai dengan cara begitu, biasanya mengatakan bahwa hati dan jiwanya penuh seluruh. Bahagia sebahagia-bahagianya. Puas sepuas-puasnya. Sampai tak ada tempat bagi yang lain. Bahkan setelah sang pencinta mati.
Begitulah Naila. Utsman telah memenuhi seluruh jiwanya dengan cinta. Maka ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah suaminya terbunuh. Ia bahkan merusak wajahnya untuk menolak semua pelamarnya. Tak ada yang dapat mencintai sehebat lelaki tua itu.
Readmore »»
Thursday, November 25, 2010
Monday, October 25, 2010
Kisah Hay bin Yaqdzan
3
Falsafah dan Orang Awam
Ilmu falsafah amat sukar untuk dipelajari. Dengan berbagai masalah dan istilahnya yang kerap sulit sekali untuk dipahami dan hambar ketika dibaca, maka dari itu falsafah susah sekali memikat hati dan minat pembaca yang awam. Tidak heran jikalau seorang filosof seperti Ibnu Haitham menutup salah satu kitab falsafahnya (430H) dengan tegas mengatakan:
“Saya tidak menghadapkan kalam saya ini kepada semua manusia. Akan tetapi kepada tiap-tiap seorang dari mereka, yang harganya sama dengan ribuan, bahkan puluhan ribu orang. Dikarenakan tidak banyak manusia yang sampai kepada hak atau kebenaran yang halus dan tajam itu, kecuali yang mempunyai pemahaman yang halus dan tajam diantara mereka!”
Akan tetapi, sungguhpun demikan, falsafah itu bukanlah semestinya tetap menjadi milik dan dimonopoli oleh orang-orang yang digambarkan di atas saja. Semua orang dapat merasakan faedahnya apabila dapat disajikan dengan cara yang berbeda dan lebih mudah untuk dibaca.
Suatu ketika seorang awam bertanya kepada seorang Filosof Yunani, “Apakah faedahnya falsafah itu ?” Dijawabnya dengan mudah dan singkat, “Faedahnya adalah agar jangan ada satu batu bertengger diatas batu yang lain”.
Maksudnya ialah bilamana seorang penonton yang duduk diatas batu ketika menonton theater (tempat menonton berbagai macam permainan pada zaman itu), si penonton itu jangan disamakan derajatnya dengan batu yang ia duduki.
Jikalau si awam tidak sampai kepada falsafah, maka menjadi sebuah hutang bagi seorang filosof untuk mencapai usaha agar falsafah dapat memasuki alam pikiran mereka, menurut kadar dan cara yang sepadan dengan tingkatan akal mereka agar mereka dapat merasakan kelezatan hikmah-hikmahnya.
Maka Ibnu Thufail-lah yang mendapat kehormatan sebagai filosof muslim yang menunjukkan langkahnya dengan hasil yang gemilang.
Ibnu Thufail merupakan salah satu dari bintang-bintang filosof Andalusia dalam Abad ke-12. Ia mengetahui dimana letaknya rahasia bagaimana tulisannya dapat menjadi kegemaran masyarakat pada masa itu. Bahkan sampai-sampai pintu istana Amir Yusuf Abi Ja’ pun dibukakan agar ia dapat masuk menjadi tamu kehormatannya berkat tulisan-tulisannya.
Dia memahami bahwa didalam pembaca umum ada satu kaidah yang tidak boleh tidak harus ada, yakni yang dinamakan orang “avontlurik elemen” atau kisah-kisah pengalaman yang diluar dari kebiasaan, yang dapat mengorbankan perasaan (sensasional). Umpamanya seperti terdapat dalam cerita-cerita 1001 malam, Abu Nawas, dan lain-lain yang tidak saja hanya menjadi bacaan umum, akan tetapi telah menjadi sebagian dari perpustakaan dunia.
Kaidah itulah yang ditujukan oleh Ibnu Thufail dengan roman Falsafahnya yang bernama “Hay bin Yaqdzan” (si Hidup anak Kesadaran), yang diakui sebagai salah satu kitab yang “paling aneh dalam Abad Pertengahan”.
Kaidah yang diapakai Ibnu Thufail ini telah banyak diikuti oleh penulis-penulis terkenal Eropa setelah beliau seperti penulis dari cerita “Robinson Crusoe”, “Gulliver”, dan lain-lain.
Marilah kita baca sedikit ringkasan dari “roman” yang aneh ini:
“Arkian, menurut cerita orang-orang tua kita dahulu kala (demikianlah Ibnu Thufail memulai ceritanya). Di daerah tanah India, di bawah khatulistiwa, ada sebuah pulau yang didiami oleh seorang manusia yang lahir tidak berbapak dan tidak beribu.
Hal yang demikian itu dimungkinkan terjadi karena atmosfer dipulau itu adalah atmosfer yang sungguh nyaman dan paling bersih di dunia ini, oleh karena mendapat cahaya dari ruang langit yang paling tinggi. Ada yang mengatakan bahwa seseorang yang tinggal dipulau tersebut bernama Hay bin Yaqdzan.
Sebelumnya, ada yang mengatakan pula bahwa didekat pulau yang dimaksudkan itu ada lagi sebuah pulau yang amat banyak penduduknya. Pulau ini diperintah oleh seorang raja, yang amat tinggi hati dan cemburu tabiatnya. Raja tersebut memiliki seorang saudari perempuan yang selalu dihalang-halangi apabila hendak bersuami. Karena menurut pendapat pendapat sang raja belumlah ada pria di negerinya yang sepadan dengan saudari perempuannya itu.
Walaupun demikian, saudari raja tersebut akhirnya dapat juga menikah secara rahasia dengan seorang petani yang dicintainya, menurut peraturan agama yang berlaku di negeri itu. Hingga kemudian didapatlah dari pasangan suami-istri tersebut seorang anak laki-laki yang mereka namakan “Hay bin Yaqdzan”.
Akan tetapi alangkah sedihnya bilamana sukacita si Ibu dan si Bapak diputuskan, karena terpaksa harus berpisah dengan anak mereka yang baru lahir itu, dengan alasan hendak menyembunyikan pernikahan mereka yang tidak disukai oleh raja yang angkara murka itu.
Hay bin Yaqdzan dimasukan kedalam sebuah peti bertutup oleh ibunya. Dengan diiringi oleh teman-teman ibunya yang setia, pergilah si Ibu membawa si jantung hatinya dimalam yang gelap gulita ke tepi pantai. Disanalah ia berpisah dengan anaknya yang tercinta untuk selama-lamanya. Dengan hati remuk redam dan air mata yang bercucuran diletakanlah peti kecil itu ditepi laut serta berdoa kehadirat Ilahi, “Ya Tuhanku, Engkaulah yang menjadikan anak ini diwaktunya dia belum ada, Engkau pelihara dia selama di dalam kandunganku dan telah Engkau pelahara dia dari mulai lahir hingga sampai saat ini”.
“Maka sekarang, kuserahkan anakku ini kepada lindungan Engkau, ya Tuhanku, karena takut kepada raja yang dzalim itu. Janganlah dia Engkau tinggalkan, ya Arhamarrahimin”
Sejurus kemudian datanglah pasang naik yang biasanya meliputi pantai itu setahun sekali. Peti yang berisi bayi itu dibawa alun, terapung-apung beberapa lama dilautan yang besar, tertutup oleh ranting-ranting dan dedaunan kayu, terlindung dari hujan dan panasnya matahari.
Setelah pasang mulai turun terkandaslah peti tersebut pada sebuah pulau lain yang tidak didiami oleh manusia. Setelah terhempas beberapa kali oleh ombak tepi laut, pecahlah kunci peti tersebut.
Sesaat kemudian terdengarlah tangis Hay bin Yaqdzan yang sayup-sayup karena kedinginan dan kelaparan oleh seekor kambing hutan yang baru saja kehilangan anaknya. Disangka kambing itu adalah anaknya yang memanggil-manggil, dengan cepat ia berlari menuju sumber suara. Ternyata yang didapati oleh kambing tersebut adalah sebuah peti yang hampir pecah. Setelah ditanduknya beberapa kali, petipun terbelah menjadi dua, dan dilihat didalamnya terdapat seorang anak yang sedang menangis kedinginan. Melihat kondisi anak itu, maka jatuhlah rasa kasihan si kambing hutan, lalu disusukan dan dipeliharanya sebagai penggganti anaknya sendiri yang sudah hilang.......!”
Demikianlah Ibnu Thufail memulai roman falsafahnya dengan sajak ritma prosa yang meningkatkan selera pembaca untuk membacanya. Begitulah contoh apabila ilmu falsafah jatuh ke tangan seorang ahli syair. Ia berusaha agar ilmu falsafah yang ia miliki dapat memasuki alam pikiran pembaca melalui keahliannya sebagai ahli syair.
Ketika si pembaca sedang asyik merunutkan kisah nasib Hay bin Yaqdzan, setahap-demi setahap disisipkanlah ilmu-ilmu alam tentang teori “spontan generation” dan dihubungkannya dengan asal-usulnya Hay bin Yaqdzan pada awal cerita, yakni tentang mungkin atau tidaknya suatu makhluk yang lahir dari tumbuh-tumbuhan, hewan ataupun manusia yang secara tiba-tiba mengalami proses pertumbuhan dan pengasuhan oleh makhluk yang berbeda jenis, tidak sebagaimana mestinya.
Begitulah seterusnya cerita roman ini menarik pembacanya untuk merunutkan keberuntungan Hay bin Yaqdzan dari kecil menjadi muda, remaja, dewasa, hingga berpikiran matang.
Berkat penglihatannya yang jernih baik dari mata dzahirnya maupun mata hatinya, pendengarannya yang sehat, serta perasaan dan akalnya yang tajam didapatlah bermacam-macam ilmu yang ia dapat secara otodidak berupa ilmu berburu, bercocok tanam, bertenun, ilmu anatomi, dan lain-lain. Dan dari setiap kepintaran dan pendapat baru itu oleh Ibnu Thufail selalu disisipkan bermacam-macam pandangan falsafah dalam roman itu.
“Amatlah sedih hati Hay bin Yaqdzan ketika kambing yang menyusui dan mengasuhnya diwaktu kecil itu jatuh sakit. Ia mencoba memeriksa penyakit apa yang diderita kambing itu dan apa penyebabnya. Dan setelah kambing itu mati, diperiksanyalah jikalau penyakit yang menyebabkan maut itu dapat dilihat dalam dada hewan tersebut. Dibelahnya dada kambing itu dengan batu yang sudah diasahnya hingga tajam, diselidikinya struktur dan susunan jantung (pelajaran anatomi).
Timbulah perasaannya , bahwa sesuatu yang telah meninggalkan badan binatang itu adalah sesuatu yang tidak bersifat maddah tetapi bersifat lebih halus dari itu, yaitu ruhani yang apabila terhubung dengan badan jasmani menjadikan satu hewan yang hidup...........”
Ibnu Thufail membagi romannya ini atas beberapa bagian menurut tingkat pengetahuan tokoh utama yang didapatnya secara berangsur-angsur. (Bersambung)
Readmore »»
Ilmu falsafah amat sukar untuk dipelajari. Dengan berbagai masalah dan istilahnya yang kerap sulit sekali untuk dipahami dan hambar ketika dibaca, maka dari itu falsafah susah sekali memikat hati dan minat pembaca yang awam. Tidak heran jikalau seorang filosof seperti Ibnu Haitham menutup salah satu kitab falsafahnya (430H) dengan tegas mengatakan:
“Saya tidak menghadapkan kalam saya ini kepada semua manusia. Akan tetapi kepada tiap-tiap seorang dari mereka, yang harganya sama dengan ribuan, bahkan puluhan ribu orang. Dikarenakan tidak banyak manusia yang sampai kepada hak atau kebenaran yang halus dan tajam itu, kecuali yang mempunyai pemahaman yang halus dan tajam diantara mereka!”
Akan tetapi, sungguhpun demikan, falsafah itu bukanlah semestinya tetap menjadi milik dan dimonopoli oleh orang-orang yang digambarkan di atas saja. Semua orang dapat merasakan faedahnya apabila dapat disajikan dengan cara yang berbeda dan lebih mudah untuk dibaca.
Suatu ketika seorang awam bertanya kepada seorang Filosof Yunani, “Apakah faedahnya falsafah itu ?” Dijawabnya dengan mudah dan singkat, “Faedahnya adalah agar jangan ada satu batu bertengger diatas batu yang lain”.
Maksudnya ialah bilamana seorang penonton yang duduk diatas batu ketika menonton theater (tempat menonton berbagai macam permainan pada zaman itu), si penonton itu jangan disamakan derajatnya dengan batu yang ia duduki.
Jikalau si awam tidak sampai kepada falsafah, maka menjadi sebuah hutang bagi seorang filosof untuk mencapai usaha agar falsafah dapat memasuki alam pikiran mereka, menurut kadar dan cara yang sepadan dengan tingkatan akal mereka agar mereka dapat merasakan kelezatan hikmah-hikmahnya.
Maka Ibnu Thufail-lah yang mendapat kehormatan sebagai filosof muslim yang menunjukkan langkahnya dengan hasil yang gemilang.
Ibnu Thufail merupakan salah satu dari bintang-bintang filosof Andalusia dalam Abad ke-12. Ia mengetahui dimana letaknya rahasia bagaimana tulisannya dapat menjadi kegemaran masyarakat pada masa itu. Bahkan sampai-sampai pintu istana Amir Yusuf Abi Ja’ pun dibukakan agar ia dapat masuk menjadi tamu kehormatannya berkat tulisan-tulisannya.
Dia memahami bahwa didalam pembaca umum ada satu kaidah yang tidak boleh tidak harus ada, yakni yang dinamakan orang “avontlurik elemen” atau kisah-kisah pengalaman yang diluar dari kebiasaan, yang dapat mengorbankan perasaan (sensasional). Umpamanya seperti terdapat dalam cerita-cerita 1001 malam, Abu Nawas, dan lain-lain yang tidak saja hanya menjadi bacaan umum, akan tetapi telah menjadi sebagian dari perpustakaan dunia.
Kaidah itulah yang ditujukan oleh Ibnu Thufail dengan roman Falsafahnya yang bernama “Hay bin Yaqdzan” (si Hidup anak Kesadaran), yang diakui sebagai salah satu kitab yang “paling aneh dalam Abad Pertengahan”.
Kaidah yang diapakai Ibnu Thufail ini telah banyak diikuti oleh penulis-penulis terkenal Eropa setelah beliau seperti penulis dari cerita “Robinson Crusoe”, “Gulliver”, dan lain-lain.
Marilah kita baca sedikit ringkasan dari “roman” yang aneh ini:
“Arkian, menurut cerita orang-orang tua kita dahulu kala (demikianlah Ibnu Thufail memulai ceritanya). Di daerah tanah India, di bawah khatulistiwa, ada sebuah pulau yang didiami oleh seorang manusia yang lahir tidak berbapak dan tidak beribu.
Hal yang demikian itu dimungkinkan terjadi karena atmosfer dipulau itu adalah atmosfer yang sungguh nyaman dan paling bersih di dunia ini, oleh karena mendapat cahaya dari ruang langit yang paling tinggi. Ada yang mengatakan bahwa seseorang yang tinggal dipulau tersebut bernama Hay bin Yaqdzan.
Sebelumnya, ada yang mengatakan pula bahwa didekat pulau yang dimaksudkan itu ada lagi sebuah pulau yang amat banyak penduduknya. Pulau ini diperintah oleh seorang raja, yang amat tinggi hati dan cemburu tabiatnya. Raja tersebut memiliki seorang saudari perempuan yang selalu dihalang-halangi apabila hendak bersuami. Karena menurut pendapat pendapat sang raja belumlah ada pria di negerinya yang sepadan dengan saudari perempuannya itu.
Walaupun demikian, saudari raja tersebut akhirnya dapat juga menikah secara rahasia dengan seorang petani yang dicintainya, menurut peraturan agama yang berlaku di negeri itu. Hingga kemudian didapatlah dari pasangan suami-istri tersebut seorang anak laki-laki yang mereka namakan “Hay bin Yaqdzan”.
Akan tetapi alangkah sedihnya bilamana sukacita si Ibu dan si Bapak diputuskan, karena terpaksa harus berpisah dengan anak mereka yang baru lahir itu, dengan alasan hendak menyembunyikan pernikahan mereka yang tidak disukai oleh raja yang angkara murka itu.
Hay bin Yaqdzan dimasukan kedalam sebuah peti bertutup oleh ibunya. Dengan diiringi oleh teman-teman ibunya yang setia, pergilah si Ibu membawa si jantung hatinya dimalam yang gelap gulita ke tepi pantai. Disanalah ia berpisah dengan anaknya yang tercinta untuk selama-lamanya. Dengan hati remuk redam dan air mata yang bercucuran diletakanlah peti kecil itu ditepi laut serta berdoa kehadirat Ilahi, “Ya Tuhanku, Engkaulah yang menjadikan anak ini diwaktunya dia belum ada, Engkau pelihara dia selama di dalam kandunganku dan telah Engkau pelahara dia dari mulai lahir hingga sampai saat ini”.
“Maka sekarang, kuserahkan anakku ini kepada lindungan Engkau, ya Tuhanku, karena takut kepada raja yang dzalim itu. Janganlah dia Engkau tinggalkan, ya Arhamarrahimin”
Sejurus kemudian datanglah pasang naik yang biasanya meliputi pantai itu setahun sekali. Peti yang berisi bayi itu dibawa alun, terapung-apung beberapa lama dilautan yang besar, tertutup oleh ranting-ranting dan dedaunan kayu, terlindung dari hujan dan panasnya matahari.
Setelah pasang mulai turun terkandaslah peti tersebut pada sebuah pulau lain yang tidak didiami oleh manusia. Setelah terhempas beberapa kali oleh ombak tepi laut, pecahlah kunci peti tersebut.
Sesaat kemudian terdengarlah tangis Hay bin Yaqdzan yang sayup-sayup karena kedinginan dan kelaparan oleh seekor kambing hutan yang baru saja kehilangan anaknya. Disangka kambing itu adalah anaknya yang memanggil-manggil, dengan cepat ia berlari menuju sumber suara. Ternyata yang didapati oleh kambing tersebut adalah sebuah peti yang hampir pecah. Setelah ditanduknya beberapa kali, petipun terbelah menjadi dua, dan dilihat didalamnya terdapat seorang anak yang sedang menangis kedinginan. Melihat kondisi anak itu, maka jatuhlah rasa kasihan si kambing hutan, lalu disusukan dan dipeliharanya sebagai penggganti anaknya sendiri yang sudah hilang.......!”
Demikianlah Ibnu Thufail memulai roman falsafahnya dengan sajak ritma prosa yang meningkatkan selera pembaca untuk membacanya. Begitulah contoh apabila ilmu falsafah jatuh ke tangan seorang ahli syair. Ia berusaha agar ilmu falsafah yang ia miliki dapat memasuki alam pikiran pembaca melalui keahliannya sebagai ahli syair.
Ketika si pembaca sedang asyik merunutkan kisah nasib Hay bin Yaqdzan, setahap-demi setahap disisipkanlah ilmu-ilmu alam tentang teori “spontan generation” dan dihubungkannya dengan asal-usulnya Hay bin Yaqdzan pada awal cerita, yakni tentang mungkin atau tidaknya suatu makhluk yang lahir dari tumbuh-tumbuhan, hewan ataupun manusia yang secara tiba-tiba mengalami proses pertumbuhan dan pengasuhan oleh makhluk yang berbeda jenis, tidak sebagaimana mestinya.
Begitulah seterusnya cerita roman ini menarik pembacanya untuk merunutkan keberuntungan Hay bin Yaqdzan dari kecil menjadi muda, remaja, dewasa, hingga berpikiran matang.
Berkat penglihatannya yang jernih baik dari mata dzahirnya maupun mata hatinya, pendengarannya yang sehat, serta perasaan dan akalnya yang tajam didapatlah bermacam-macam ilmu yang ia dapat secara otodidak berupa ilmu berburu, bercocok tanam, bertenun, ilmu anatomi, dan lain-lain. Dan dari setiap kepintaran dan pendapat baru itu oleh Ibnu Thufail selalu disisipkan bermacam-macam pandangan falsafah dalam roman itu.
“Amatlah sedih hati Hay bin Yaqdzan ketika kambing yang menyusui dan mengasuhnya diwaktu kecil itu jatuh sakit. Ia mencoba memeriksa penyakit apa yang diderita kambing itu dan apa penyebabnya. Dan setelah kambing itu mati, diperiksanyalah jikalau penyakit yang menyebabkan maut itu dapat dilihat dalam dada hewan tersebut. Dibelahnya dada kambing itu dengan batu yang sudah diasahnya hingga tajam, diselidikinya struktur dan susunan jantung (pelajaran anatomi).
Timbulah perasaannya , bahwa sesuatu yang telah meninggalkan badan binatang itu adalah sesuatu yang tidak bersifat maddah tetapi bersifat lebih halus dari itu, yaitu ruhani yang apabila terhubung dengan badan jasmani menjadikan satu hewan yang hidup...........”
Ibnu Thufail membagi romannya ini atas beberapa bagian menurut tingkat pengetahuan tokoh utama yang didapatnya secara berangsur-angsur. (Bersambung)
Readmore »»
Friday, October 22, 2010
Agar Kesalahan Menjadi Pintu Kebaikan
0
Rabi’ bin Hutsaim, seorang tabiin yang terkenal memiliki sikap selalu membersihkan jiwa mengatakan, “Seandainya manusia itu tahu tentang aibnya sendiri niscaya tak ada orang yang akan mencela diri orang lain.” Suatu ketika ia pernah ditanya seorang sahabatnya, “Wahai Abu Yazid –panggilan Rabi’- mengapa engkau tidak pernah mencela orang lain?” Ia menjawab, “Demi Allah, jiwaku saja belum tentu diridhai Allah lalu untuk apa aku mencela orang lain? Sesungguhnya banyak manusia yang takut kepada Allah karena melihat dosa-dosa yang dilakukan oleh orang lain. Tetapi tidak sedikit di antara mereka yang seperti tidak merasakan hal itu dengan dosa yang ia lakukan sendiri.” (Tabaqat Ibnu Sa’ad, 6/168)
Saudaraku,
Siapa di antara kita yang kuat menahan malu, andai kita tahu daftar kesalahan, kedurhakaan, kemaksiatan, dan pelanggaran yang kita lakukan? Siapa di antara kita yang mampu menahan rasa hina yang tiada tara, jika saja kita mengetahui catatan perilaku buruk dan dosa yang telah kita lakukan? Hidup yang sudah kita lalui singkat. Dua puluh, tiga puluh, atau empat puluh tahun? Tapi siapa yang kuat menahan penyesalan akibat keburukan dan dosa yang kerap kita lakukan berulang-ulang?
Saudaraku, mari perbaharui taubat,
Mari perbanyak istighfar dan permohonan ampun pada Allah swt. Rasulullah menggambarkan, sebuah dosa seperti noda hitam di dalam hati. Kian banyak noda hitam itu, maka hati menjadi hitam legam, kelam. Sinarnya bukan hanya redup, tapi gelap. Cahayanya tertutup oleh titik-titik noda yang menjadikannya tak mampu lagi memandang dan menimbang kebenaran. “Bila seseorang melepaskan diri dari dosa, beristighfar dan bertaubat, hatinya akan cemerlang seperti semula. Dan bila ia mengulangi perbuatan dosa maka noda hitam itu akan bertambah hingga meliputi hatinya. Allah swt berfirman, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (HR. Turmudzi).
Mirip dengan hadits dan firman Allah tadi, Hasan Al Bashri menyebutkan bahwa ketaatan itu identik dengan cahaya batin dan kekuatan fisik. “Kebaikan itu memberi cahaya dalam hati, melahirkan kekuatan bagi tubuh. Sementara keburukan akan menggelapkan hati dan melemahkan tubuh, serta mempengaruhi terhadap rezeki,” ujar Hasan Al Bashri. Ia kemudian mengutip sebuaj sabda Rasulullah saw, “Seseorang dihalangi rezekinya karena dosa yang ia lakukan.” (HR. Ibnu Majah).
Saudaraku,
Meski begitu, kemaksiatan bukan akhir dari segalanya. Melakukan dosa tak berarti kejatuhan yang tak mungkin pelakunya bangkit kembali. Inti pesan yang ingin disampaikan dalam hadits dan perkataan Hasan Al Bashri tadi adakalah , ajakan utnuk mengulang-ulang dan memperbaharui taubat. Iamam Ibnul Qayyim pernah menguraikan panjang, betapa kesalahan dan dosa yuang diperbuat oleh Nabiyullah Adam as hingga ia diturunkan dari surga ke bumi, ternyata membuka banyak hikmah dan karunia Allah kepada Adam dan keturunannya. Dalam kitab Al Fawaid, Ibnul Qayyim menulis bahwa syaitan yang dengki gembira dengan jatuhnya Adam dan Hawa ke lembah dosa dan terpeleset dari surga. Tapi sesunggguhnya keluarnya Adam dan Hawa dari sutga menyebabkan ia melahirkan banyak karunia Allah kepadamanusia karena kemudian lahir anak cucu yang kelak menjadi khalifah di muka bumi. Bahkan ada hadits Rasulullah yang menyebutkan, “Dan demi dzat yang di diriku ada kekuasaan-Nya, jika kalian tak melakukan dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian lalu akan mendatangkan kaum lain yang akan berdosa, kemudian mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim setelah itu, memberi komentar sangat indah bahwa ketika Adam dikeluarkan dari surga karena kesalahannya, tidak berarti Allah tidak memperdulikannya. Allah tetap memelihara keturunan Adam dan anak cucunya. Karena selanjutnya Allah pun tetap menjadikan surga untuk Adam dan anak cucunya yang beriman dan taat kepada Allah swt, selama-lamanya. Jadi, dikeluarkannya Adam dari surga seolah hanya sementara waktu untuk menyempurnakan bangunan surga itu sendiri. Sama seperti manusia yang ingin melakukan renovasi tempat tinggal lalu ia harus keluar dari rumah itu sementara dan kembali lagi. Tulis Ibnul Qayyim rahimahullah.
Ibnul Qayyim juga menggarisbawahi bahwa meski dengan segala keutamaan yang Allah berikan kepada Adam, tapi Adam tetap menyadari dan kembali kepada Allah, memohon ampun terhadap kemaksiatan yang dilakukannya. Karena itulah, Nabiyullah Adam as, yang disebutkan dalam Al Qur’an berbunyi, “Ya Rabb kami, kami telah mendzalimi diri kami sendiri dan jika Engkau tidak memberi ampun kepada diri kami niscaya kami menjadi orang-orang yang merugi….” Kesalahan telah membuat Adam merasakan kedekatan dan ketergantungan luar biasa kepada Allah swt.
Saudaraku,
Demikianlah. Kemaksiatan dan dosa, ternyata bisa saja menjadi pintu kebaikan bagi pelakunya. Syaratnya hanya satu, yakni perbaharui taubat. Pintu kebaikan ada di mana saja. Termasuk di hadapan pelaku kemaksiatan. Jangan mencela berlebihan perilaku maksiat yang dilakukan oleh orang lain. Karena mungkin saja di lain kemaksiatan itu ternyata melecut pelakunya untuk melakukan keshalihan yang bisa jadi kita sama sekali tidak mampu melakukannya.
Tinggalkan kemaksiatan, sesali dosa, perbaharui taubat, jangan biarkan diri hanyut dalam nikmatnya ayunan kesalahan. Ingat saudaraku, jika kita ikhlas, Allah pasti akan menggantikan kenikmatan dosa yang kita tinggalkan dengan sesuatu yang lebih indah dan nikmat sejak di dunia, terlebih di akhirat. Dengarkanlah perkataan yang diucapkan Ibnu Sirin, seorang tokoh ulama di zaman Tabi’in yang terkenal memiliki kepekaan spiritual di zamannya. Ia mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang meninggalkan suatu keburukan yang ia rasakan nikmat, hanya karena Allah, kecuali ia pasti akan menemukan gantinya dari Allah swt…”
Atau perhatikanlah sabda Rasulullah saw, “Barang siapa yang memalingkan pandangan dari sesuatu yang haram, maka Allah akan berikan satu titik cahaya dalam hatinya…”
Saudaraku,
“Semoga Allah merahmati hamba yang berkata pada jiwanya, ‘Bukankah kamu telah melakukan ini? Bukankah kamu telah melakukan ini?’ Lalu ia mengikat jiwanya bahkan memukulnya, dan setelah itu ia mengurung jiwanya untuk selalu taat sesuai perintah Allah sampai ia menjadi komando bagi jiwanya dan bukan sebaliknya dikomando oleh nafsunya.” Begitu ucapan Malik bin Dinar.
Tengadahkan tangan saudaraku, kita sama-sama berdo’a: “Ya Allah, jadikan kondisi rahasiaku lebih baik dari kondisi lahirku. Dan jadikanlah kondisi lahirku itu baik. Jadikanlah batinku lebih baik dari lahirku. Dan jadikanlah lahirku baik. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari menganggap diriku besar, tapi Engkau menganggapku kecil… Ya Allah, aku berlindung dengan ridho-Mu dari kemarahan-Mu.. aku berlindung dengan maaf-Mu dari azab-Mu
Readmore »»
Saudaraku,
Siapa di antara kita yang kuat menahan malu, andai kita tahu daftar kesalahan, kedurhakaan, kemaksiatan, dan pelanggaran yang kita lakukan? Siapa di antara kita yang mampu menahan rasa hina yang tiada tara, jika saja kita mengetahui catatan perilaku buruk dan dosa yang telah kita lakukan? Hidup yang sudah kita lalui singkat. Dua puluh, tiga puluh, atau empat puluh tahun? Tapi siapa yang kuat menahan penyesalan akibat keburukan dan dosa yang kerap kita lakukan berulang-ulang?
Saudaraku, mari perbaharui taubat,
Mari perbanyak istighfar dan permohonan ampun pada Allah swt. Rasulullah menggambarkan, sebuah dosa seperti noda hitam di dalam hati. Kian banyak noda hitam itu, maka hati menjadi hitam legam, kelam. Sinarnya bukan hanya redup, tapi gelap. Cahayanya tertutup oleh titik-titik noda yang menjadikannya tak mampu lagi memandang dan menimbang kebenaran. “Bila seseorang melepaskan diri dari dosa, beristighfar dan bertaubat, hatinya akan cemerlang seperti semula. Dan bila ia mengulangi perbuatan dosa maka noda hitam itu akan bertambah hingga meliputi hatinya. Allah swt berfirman, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (HR. Turmudzi).
Mirip dengan hadits dan firman Allah tadi, Hasan Al Bashri menyebutkan bahwa ketaatan itu identik dengan cahaya batin dan kekuatan fisik. “Kebaikan itu memberi cahaya dalam hati, melahirkan kekuatan bagi tubuh. Sementara keburukan akan menggelapkan hati dan melemahkan tubuh, serta mempengaruhi terhadap rezeki,” ujar Hasan Al Bashri. Ia kemudian mengutip sebuaj sabda Rasulullah saw, “Seseorang dihalangi rezekinya karena dosa yang ia lakukan.” (HR. Ibnu Majah).
Saudaraku,
Meski begitu, kemaksiatan bukan akhir dari segalanya. Melakukan dosa tak berarti kejatuhan yang tak mungkin pelakunya bangkit kembali. Inti pesan yang ingin disampaikan dalam hadits dan perkataan Hasan Al Bashri tadi adakalah , ajakan utnuk mengulang-ulang dan memperbaharui taubat. Iamam Ibnul Qayyim pernah menguraikan panjang, betapa kesalahan dan dosa yuang diperbuat oleh Nabiyullah Adam as hingga ia diturunkan dari surga ke bumi, ternyata membuka banyak hikmah dan karunia Allah kepada Adam dan keturunannya. Dalam kitab Al Fawaid, Ibnul Qayyim menulis bahwa syaitan yang dengki gembira dengan jatuhnya Adam dan Hawa ke lembah dosa dan terpeleset dari surga. Tapi sesunggguhnya keluarnya Adam dan Hawa dari sutga menyebabkan ia melahirkan banyak karunia Allah kepadamanusia karena kemudian lahir anak cucu yang kelak menjadi khalifah di muka bumi. Bahkan ada hadits Rasulullah yang menyebutkan, “Dan demi dzat yang di diriku ada kekuasaan-Nya, jika kalian tak melakukan dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian lalu akan mendatangkan kaum lain yang akan berdosa, kemudian mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim setelah itu, memberi komentar sangat indah bahwa ketika Adam dikeluarkan dari surga karena kesalahannya, tidak berarti Allah tidak memperdulikannya. Allah tetap memelihara keturunan Adam dan anak cucunya. Karena selanjutnya Allah pun tetap menjadikan surga untuk Adam dan anak cucunya yang beriman dan taat kepada Allah swt, selama-lamanya. Jadi, dikeluarkannya Adam dari surga seolah hanya sementara waktu untuk menyempurnakan bangunan surga itu sendiri. Sama seperti manusia yang ingin melakukan renovasi tempat tinggal lalu ia harus keluar dari rumah itu sementara dan kembali lagi. Tulis Ibnul Qayyim rahimahullah.
Ibnul Qayyim juga menggarisbawahi bahwa meski dengan segala keutamaan yang Allah berikan kepada Adam, tapi Adam tetap menyadari dan kembali kepada Allah, memohon ampun terhadap kemaksiatan yang dilakukannya. Karena itulah, Nabiyullah Adam as, yang disebutkan dalam Al Qur’an berbunyi, “Ya Rabb kami, kami telah mendzalimi diri kami sendiri dan jika Engkau tidak memberi ampun kepada diri kami niscaya kami menjadi orang-orang yang merugi….” Kesalahan telah membuat Adam merasakan kedekatan dan ketergantungan luar biasa kepada Allah swt.
Saudaraku,
Demikianlah. Kemaksiatan dan dosa, ternyata bisa saja menjadi pintu kebaikan bagi pelakunya. Syaratnya hanya satu, yakni perbaharui taubat. Pintu kebaikan ada di mana saja. Termasuk di hadapan pelaku kemaksiatan. Jangan mencela berlebihan perilaku maksiat yang dilakukan oleh orang lain. Karena mungkin saja di lain kemaksiatan itu ternyata melecut pelakunya untuk melakukan keshalihan yang bisa jadi kita sama sekali tidak mampu melakukannya.
Tinggalkan kemaksiatan, sesali dosa, perbaharui taubat, jangan biarkan diri hanyut dalam nikmatnya ayunan kesalahan. Ingat saudaraku, jika kita ikhlas, Allah pasti akan menggantikan kenikmatan dosa yang kita tinggalkan dengan sesuatu yang lebih indah dan nikmat sejak di dunia, terlebih di akhirat. Dengarkanlah perkataan yang diucapkan Ibnu Sirin, seorang tokoh ulama di zaman Tabi’in yang terkenal memiliki kepekaan spiritual di zamannya. Ia mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang meninggalkan suatu keburukan yang ia rasakan nikmat, hanya karena Allah, kecuali ia pasti akan menemukan gantinya dari Allah swt…”
Atau perhatikanlah sabda Rasulullah saw, “Barang siapa yang memalingkan pandangan dari sesuatu yang haram, maka Allah akan berikan satu titik cahaya dalam hatinya…”
Saudaraku,
“Semoga Allah merahmati hamba yang berkata pada jiwanya, ‘Bukankah kamu telah melakukan ini? Bukankah kamu telah melakukan ini?’ Lalu ia mengikat jiwanya bahkan memukulnya, dan setelah itu ia mengurung jiwanya untuk selalu taat sesuai perintah Allah sampai ia menjadi komando bagi jiwanya dan bukan sebaliknya dikomando oleh nafsunya.” Begitu ucapan Malik bin Dinar.
Tengadahkan tangan saudaraku, kita sama-sama berdo’a: “Ya Allah, jadikan kondisi rahasiaku lebih baik dari kondisi lahirku. Dan jadikanlah kondisi lahirku itu baik. Jadikanlah batinku lebih baik dari lahirku. Dan jadikanlah lahirku baik. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari menganggap diriku besar, tapi Engkau menganggapku kecil… Ya Allah, aku berlindung dengan ridho-Mu dari kemarahan-Mu.. aku berlindung dengan maaf-Mu dari azab-Mu
Readmore »»
Thursday, October 14, 2010
Abu Nashr Al-Farabi
0Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Auzalagh bin Thurkhan, anak dari seorang pembesar militer dari Persia. Dilahirkan di Farab, Kazakhstan. Tidak diketahui pasti kapan tahun kelahirannya , akan tetapi beliau meninggal dalam umur +/- 80 tahun pada Bulan Rajab tahun 339 H (December 950M).
Diriwayatkan bahwa Al-Farabi adalah seorang yang amat bersahaja semasa hidupnya, mencari sesuap nasi pagi hingga petang sebagai tukang kebun. Walaupun demikian kefakiran yang dideritanya, tapi tidak sedikitpun menghalanginya untuk terus bekerja dalam dunia falsafah. Pada siang hari ia menyingsingkan lengan baju sebagai tukang kebun dan di malam hari ia sibuk memegang pena dan memutar otak sebagai seorang filosof meskipun hanya diterangi lampu yang sangat redup. Ia memberi syarah (penjelasan) dan komentar mengenai falsafah Aristoteles dan Plato yang sulit dimengerti, serta membandingkan paham kedua filosof tersebut dengan ajaran Agama Islam.
Al-Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, justru sama-sama membawa kebenaran. Hal ini terbukti dengan karangannya yang berjudul Al-Jami’ Baina Ra’yani Al-Hakimain dengan maksud mempertemukan pikiran-pikiran plato dengan Aristoteles. Kendatipun begitu, Al-Farabi juga mempertemukan hasil-hasil pemikiran filsafat dengan wahyu dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batini) . Al-Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seorang wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai (Peripaterik) filosof-keilmuan. Tidak heran jika ia mendapat gelar Al-Mu’alim Ats-Tsani .
Al-Farabi juga memperdalam semua ilmu yang dimiliki oleh Al-Kindi. Al-kindi adalah seorang ilmuwan dan filosof muslim yang sangat disegani dan berjasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan sains modern. Malah dalam beberapa ilmu Al-Farabi melebihi Al-Kindi, terutama dalam ilmu mantik.
Selain itu Al-farabi menulis lagi beberapa kitab tentang berbagai macam ilmu yang belum pernah ditulis oleh orang lain sebelumnya, seperti kitab Ih Sa Ul Ulum yaitu kitab mengenai ilmu statistik, yang telah diterjemahkan dalam bahasa latin dan Hibrani. Masih ada peninggalan salah satu naskah dari kitab tersebut di El-Escorial dekat kota Madrid.
Potilik Ekonomi
Selain dari itu Al-Farabi lah yang pertama kali menulis tentang “Assiyasatul Madaniyah”, yakni yang dinamakan orang sebagai “politik ekonomi”, yang dianggap oleh orang –orang Eropa sekarang sebagai ilmu dan pendapat mereka yang Asli atau orisinil. Padahal seorang filsof muslim, 1000 tahun yang lalu, telah menguraikan dasar ilmu tersebut. Kemudian ilmu tersebut diuraikan kembali oleh seorang Filsof muslim pula, Ibnu Chaldun, dalam kitabnya yang masyhur “Muqaddamah”. Dari tangan Ibnu chaldun inilah kemudain ilmu ini sampai kepada Machiavelli, Hegel, Gibbon, dan lain-lainnya. Kitab Assiyasatul Madaniyah ini ada yang dicetak di Beirut pada tahun 1906.
Musik
Tidak sedikit pula jasa Al-Farabi dalam memajukan ilmu musik. Ia mengarang lagu, ia membuat Instrumen, ia menulis teori dan memperbaiki berbagai kesalahan teori ahli musik terdahulu, serta menyusun metode belajar yang lebih sempurna. Diterangkan olehnya sifat-sifat suara, bagaimana irama (ritma), dan harmoninya. Ditunjukkannya berbagai macam maat (tempo) serta penggunaan Mayor dan Minor dalam nada.
Saat tinggal di Istana Saif al-Dawla Al-Hamdani di Kota Aleppo, Al-Farabi mengembangkan kemampuan musik serta teori tentang musik. Al-Farabi juga diyakini sebagai penemu dua alat musik, yakni rabab dan qanun. Ia menulis tak kurang dari lima judul kitab tentang musik. Salah satu kitab yang ia tulis adalah Kitabu al-Musiqa to al-Kabir atau The Great Book of Music, yang disebut-sebut sebagai buku penting dalam bidang musik.
Pemikirannya di bidang musik masih berpengaruh hingga abad ke-16 M. Kitab musik yang ditulisnya itu sempat diterjemahkan oleh Ibnu Aqnin (1160 M-1226 M) ke dalam bahasa Ibrani. Selain itu, karyanya itu juga dialihbahasakan ke dalam bahasa Latin berjudul De Scientiis dan De Ortu Scientiarum.
Didalam teori musik Al-Farabi itu, Ia mencoba menggabungkan antara musik dengan teorema Pythagoras, sehingga menghasilkan hipotesis yang disebut “suara bintang”. Dengan jalan praktek Al-Farabi menentukan bagaimana pengaruhnya gelombang-gelombang suara (Geluidsgloven) atas tali-tali dari alat musik. Dengan metoda yang orisinil dan otodidak, beliau menemukan cara menyusun suara atau susunan tangga nada yang lebih berwana dan enak tuk didengar, yang belum diketahui oleh ahli-ahli musik pada masa itu.
Seni musik yang berkembang begitu pesat di era kejayaan Islam tak hanya sekadar mengandung unsur hiburan. Para musisi Islam legendaris, seperti Abu Yusuf Yaqub ibnu Ishaq al-Kindi (801-873 M) dan Al-Farabi telah menjadikan musik sebagai alat pengobatan atau terapi. Sebelumnya Al-Kindi sudah menemukan adanya nilai-nilai pengobatan pada musik. Dengan terapi musik, al-Kindi mencoba menyembuhkan seorang anak yang mengalami quadriplegic atau lumpuh total. Sedangkan Al-Farabi menjelaskan terapi musik dalam risalah yang berjudul Meanings of Intellect. Dalam manuskripnya itu, al-Farabi telah membahas efek-efek musik terhadap jiwa. Terapi musik berkembang semakin pesat di dunia Islam pada era Kekhalifahan Turki Usmani. Gagasan dan pemikiran yang dicetuskan ilmuwan Muslim, seperti al-Razi, al-Farabi, dan Ibnu Sina, tentang musik sebagai alat terapi dikembangkan para ilmuwan di zaman kejayaan Turki Usmani.
Akhlaknya
Abu Nashr Al-Farabi hidup dengan akhlak yang tinggi, tidak terlalu mementingkan kepentingan dunia, tapi ia amat mencintai falsafah, ilmu dan kesenian. Pernah ia bekerja di istana Amir Saifud Daulah di Halb (Aleppo). Pun dimasa itu ia tidak pernah mau menerima pemberian dari Amir lebih dari keperluannya sehari-hari, kabarnya tidak lebih dari 4 dirham sehari. Kemudian ia pindah ke Damaskus, disanalah ia menetap hingga pulang ke Rahmatullah.
Al-Farabi meninggal paada tahun 950M. Sebagai seorang miskin, tidak meninggalkan harta benda, tetapi wafatnya sebagai seorang alim (yang berilmu), meninggalkan pusaka ruhani yang tak ternilai, takrusak dimakan masa, dari zaman ke zaman, menjadi sebuah mustika kebudayaan dunia.
Sekian, penjelasan Al-farabi, saya tutup dengan salah satu penggalan syairnya;
“Hidup bersahaja dialam maddah (materi) sebagai fakir, tapi memegang kendali di alam ruhani sebagai raja!”
-Royatul Islam-
Readmore »»
Wednesday, October 13, 2010
Cinta - Cermin Kebenaran
0
Begitulah susunan kejadiannya. Di awal hanya ada Allah sendiri. Lalu Ia menciptakan Arsy-Nya di atas air. Setelah itu Ia menciptakan pena. Kemudian dengan pena itulah Ia menitahkan penulisan semua makhluk yang akan Ia ciptakan di alam raya ini: langit, bumi, malaikat, manusia, jin hingga surga dan neraka. Dengan pena itu juga Ia menitahkan penulisan semua kejadian — dengan urutan-urutan dan kaitan-kaitannya pada dimensi ruang dan waktu yang akan dialami makhluk-makhluk-Nya.
Tampaknya dengan sengaja Ibnu Katsir mengawali bahasan sejarahnya dalam Awal dan Akhir dengan cerita tadi. Tiba-tiba sejarah terbentang sebagai sebuah cerita penciptaan tanpa henti. Dari Allah awalnya, dan kelak kesana akhirnya. Tapi jika Allah tidak mendapatkan manfaat dari ciptaan-ciptaan-Nya, maka tidak ada yang dapat menjelaskan motif di balik cerita kehidupan itu kecuali hanya satu kata: cinta!
Maka, kata Ibnul Qoyyim dalam bukunya Taman Para Pencinta, “semua gerak di alam raya ini, di langit dan bumi, adalah gerak yang lahir dari kehendak dan cinta.” Dengan dan untuk itulah alam ini bergerak. Kehendak dan cintalah alasan pergerakan dan perhentiannya. Bahkan dengan untuk kehendak dan cinta jugalah alam ini diciptakan.
Maka tak satupun makhluk di alam ini yang bergerak kecuali bahwa kehendak dan cintalah motif dan tujuannya. Sesungguhnya hakikat cinta adalah gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya. Maka cinta adalah gerak tanpa henti. Dan inilah makna kebenaran ketika Allah mengatakan: “Dan tiadalah Kami menciptakan langit dan bumi serta semua yang ada di antaranya kecuali dengan kebenaran.” (QS. Al Hijr:85)
Jadi cinta adalah makna kebenaran dalam penciptaan. Itu sebabnya, hati yang dipenuhi dengan cinta lebih mudah dan cepat menangkap kebenaran. Cinta tidak tumbuh dalam hati yang dipenuhi keangkuhan, angkara murka dan dendam. Cinta melahirkan pengakuan dan kerendahan hati. Cinta adalah cahaya yang memberikan kekuatan penglihatan pada mata hati kita. Begitulah cinta akhirnya membimbing tangan Abu Bakar, Al Najasyi, atau Cat Steven kepada Islam. Begitu juga akhirnya keangkuhan menyesatkan Abu Jahal, Heraklius, atau George Bush. Cinta dalam jiwa, kata Iqbal, serupa penglihatan pada mata.
Pengetahuan bahkan bisa menyesatkan kalau ia tidak dibimbing oleh kelembutan tangan cinta. Itu kebutaan!!!, kata Einstein. Sebab ia tidak melahirkan pengakuan dan kerendahan hati. Itu juga yang menjelaskan mengapa ilmu pengetahuan modern justru menjauhkan Barat dari Tuhan. Disana cinta tidak membimbing pengetahuan. Maka dengan penuh keyakinan Iqbal kemudian berkata dalam Javid Namah:
Pengetahuan bersemayam dalam pikiran,
Tempat cinta ialah hati yang sadar-jaga,
Selama pengetahuan yang tak sedikit juga mengandung cinta,
Adalah itu hanya permainan sulap si Samiri;
Pengetahuan tanpa Ruh Kudus hanya penyihiran Readmore »»
Tampaknya dengan sengaja Ibnu Katsir mengawali bahasan sejarahnya dalam Awal dan Akhir dengan cerita tadi. Tiba-tiba sejarah terbentang sebagai sebuah cerita penciptaan tanpa henti. Dari Allah awalnya, dan kelak kesana akhirnya. Tapi jika Allah tidak mendapatkan manfaat dari ciptaan-ciptaan-Nya, maka tidak ada yang dapat menjelaskan motif di balik cerita kehidupan itu kecuali hanya satu kata: cinta!
Maka, kata Ibnul Qoyyim dalam bukunya Taman Para Pencinta, “semua gerak di alam raya ini, di langit dan bumi, adalah gerak yang lahir dari kehendak dan cinta.” Dengan dan untuk itulah alam ini bergerak. Kehendak dan cintalah alasan pergerakan dan perhentiannya. Bahkan dengan untuk kehendak dan cinta jugalah alam ini diciptakan.
Maka tak satupun makhluk di alam ini yang bergerak kecuali bahwa kehendak dan cintalah motif dan tujuannya. Sesungguhnya hakikat cinta adalah gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya. Maka cinta adalah gerak tanpa henti. Dan inilah makna kebenaran ketika Allah mengatakan: “Dan tiadalah Kami menciptakan langit dan bumi serta semua yang ada di antaranya kecuali dengan kebenaran.” (QS. Al Hijr:85)
Jadi cinta adalah makna kebenaran dalam penciptaan. Itu sebabnya, hati yang dipenuhi dengan cinta lebih mudah dan cepat menangkap kebenaran. Cinta tidak tumbuh dalam hati yang dipenuhi keangkuhan, angkara murka dan dendam. Cinta melahirkan pengakuan dan kerendahan hati. Cinta adalah cahaya yang memberikan kekuatan penglihatan pada mata hati kita. Begitulah cinta akhirnya membimbing tangan Abu Bakar, Al Najasyi, atau Cat Steven kepada Islam. Begitu juga akhirnya keangkuhan menyesatkan Abu Jahal, Heraklius, atau George Bush. Cinta dalam jiwa, kata Iqbal, serupa penglihatan pada mata.
Pengetahuan bahkan bisa menyesatkan kalau ia tidak dibimbing oleh kelembutan tangan cinta. Itu kebutaan!!!, kata Einstein. Sebab ia tidak melahirkan pengakuan dan kerendahan hati. Itu juga yang menjelaskan mengapa ilmu pengetahuan modern justru menjauhkan Barat dari Tuhan. Disana cinta tidak membimbing pengetahuan. Maka dengan penuh keyakinan Iqbal kemudian berkata dalam Javid Namah:
Pengetahuan bersemayam dalam pikiran,
Tempat cinta ialah hati yang sadar-jaga,
Selama pengetahuan yang tak sedikit juga mengandung cinta,
Adalah itu hanya permainan sulap si Samiri;
Pengetahuan tanpa Ruh Kudus hanya penyihiran Readmore »»
Tuesday, October 5, 2010
Tahukah kita seberapa besar kekuatan do’a
0
Tahukah kita seberapa besar kekuatan do’a di saat-saat genting? Situasi genting yang paling genting, adalah saat para pejuang Allah swt menghadapi kekuatan musuh Allah swt yang lebih besar secara materil. Kegentingan yang pernah dialami hampir oleh para Rasul Allah swt, tak ter kecuali Rasulullah Muhammad saw.
Saudaraku,
Bayangkanlah kegentingan yang dialami Nabiyullah Musa as saat ia dan kaumnya dikejar Fir’aun dan bala tentaranya, sampai terpojok di tepi laut. Perhatikanlah bagaimana kegentingan ini digambarkan oleh Al-Qur’anul Karim. “Maka, ketika kedua kelompok itu saling melihat, berkatalah pengikut Musa , “Sungguh kita akan benar-benar tersusul.” Musa menjawab, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya Tuhanku menyertaiku. Dia akan memberi petujuk kepadaku.” (QS.Asy Syu ’ara:62).
Betapa kegentingan dan kengerian menyergap hati kaum Bani Israel yang saat itu dipimpin Musa as. Tapi Musa as memiliki keyakinan dan ketergantungan yang kuat dengan Allah swt. Ia yakin, Allah pasti membelanya. Ia yakin, bahwa tak ada yang memiliki kekuatan kecuali Allah swt.Musa as, begitu dekat dengan Allah swt.
Saudaraku,
Mari kita lihat lagi jejak para pejuang di jalan Allah swt yang ditinggalkan dalam lembar-lembar sejarah. Kita ingin mengetahui dan turut merasakan bagaimana kedudukan keyakinan dan do ’a kepada Allah sebagai senjata paling ampuh hingga kemenangan berhasil mereka raih.
Lihatlah saudaraku,
Di malam senyap dan gelap. Malam peperangan Badar Kubro. Para sahabat radhiallahuanhum tertidur. Kecuali Rasulullah saw sedang terjaga dan shalat di samping sebuah pohon. Ia berulangkali sujud dengan mengatakan, “Yaa hayyu yaa Qayyuuum... (Wahai Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri) Rasulullah saw terus menerus mengulang-ulang ucapan itu, agar Allah swt mendatangkan kemenangan pada kaum beriman. (Al Bidayah wa An Nihayah , 5/82). Seperti itulah keyakinan berpadu permohonan yang sangat dari seorang Rasulullah saw saat menghadapi suasana genting. Lalu, ketika melihat pasukan Quraisy, ia mengatakan, “Ya Allah inilah Quraisy telah datang dengan kesombongan dan kepongahannya. Mereka mendustai Rasul-Mu. Ya Allah timpakanlah bencana kepada mereka esok.(Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, 3/168)
Umar bin Khattab meriwayatkan, detik-detik pecahnya pertempuran di Badar, Rasulullah saw memandang para sahabatnya yang berjumlah tiga ratusan orang. Lalu ia melihat barisan kaum Musyirikin yang jumlahnya lebih dari 1000 orang. Utusan Allah swt itu bersabda, “Ya Allah, berikanlah kepadaku apa yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau musnahkan kelompok Islam ini, Engkau tidak lagi disembah di muka bumi selamanya.” Kata Umar,, Rasulullah saw terus menerus berdoa sampai selendangnya terjatuh dari pundaknya. Abu Bakar ra yang memungutnya mengatakan, “Wahai Nabi Allah, cukup sudah do ’amu kepada Allah swt. Dia pasti memberimu apa yang dijanjikan kepadamu...” (HR.Ahmad)
Saudaraku,
Pernahkah kita mendengar kisah Nu ’man bin Maqran? Seorang pejuang Islam yang memimpin peperangan melawan Persia. Ketika itu, pasukan Islam telah berminggu- minggu mengepung benteng Persia yang kokoh karena pertahanannya melewati parit parit. Nu ’man berdiskusi dengan komandan perangnya. Mereka merumuskan strategi untuk memancing pasukan Persia keluar dari parit-parit mereka. Caranya, pasukan Islam berpura-pura lari meninggalkan medan tempur sampai jika orang-orang Persia keluar dari
parit, barulah pasukan Islam berbalik menyerang mereka. Nu ’man sepakat dengan strategi ini. Ia mengatakan kepada rekan-rekannya, “Nanti akulah yang akan meneriakkan takbir tiga kali. Jika kalian mendengar teriakan takbir ketiga, berarti saat itulah kalian mulai peperangan.” Setelah itu, Nu ’man pergi ke salah satu tempat dan berdo ’a kepada Allah swt dengan mengatakan, “Ya Allah, muliakanlah agamamu, menangkanlah hamba-Mu. Ya Allah aku memohon kepada-Mu agar mataku sejuk dengan kemenangan yang menjadikan Islam mulia, dan matikanlah aku dalam keadaan syahid.” Orang-orang yang mendengar do ’a Nu ’man menangis. Mereka sama-sama larut dalam munajat dan do ’a dengan penuh khusyu ’ dan tunduk.
Saudaraku,
Allah swt mengabulkan do ’a mereka. Kaum Muslimin diberikan kemenangan oleh Allah swt dengan kemenangan yang luar biasa. Allah swt juga mengabulkan do ’a Nu ’man bin Maqran karena dialah prajurit pertama yang syahid di medan perang ketika itu. (Al Bidayah wa An Nihayah, 7/89) Seorang sahabat ada yang bernama Qutaibah bin Muslim dan Muhammad bin Wasi ’. Ibnul Jauzi dalam Shifatu Shafwah menceritakan pengalaman keduanya menjelang peperangan meletus. Tiba-tiba Muhammad bin Wasi ’ menghilang dari barisan. Qutaibah lalu memerintahkan pasukannya melihat siapa yang ada di dalam masjid. Pasukannya mengatakan, “Tak ada seorangpun kecuali Muhammad bin Wasi ’. Ia sedang mengangkat jari-jarinya.” Qutaibah mengatakan,, “Jari-jarinya yang terangkat itu lebih aku sukai daripada tiga puluh ribu pemuda yang kuat dengan pedang terhunus.”
Perhatikanlah saudaraku,
Bagaimana kedudukan dan kekuatan do ’a dalam pandangan para salafushalih. Lihatlah lagi saudaraku, bagaimana Shalahuddin Al Ayyubi, tokoh pahlawan pembebas Al Quds dari tangan pasukan salib. Dikisahkan, “Shalahuddin, ketika mendengar pasukan salib berhasil mendesak kaum Muslimin, ia tersungkur sujud kepada Allah swt sambil berdo ’a, “Ya Allah aku telah terputus dari sebab-sebab bumi untuk memenangkan agama-Mu. Tak ada yang tersisa kecuali menyerahkan semuanya kepada-Mu, sambil tetap berpegang pada ajaran-Mu dan bersandar pada karunia-Mu. Engkaulah Peno-longku dan sebaik-baik Pelindung.” Dalam sujudnya itu ia menangis dan air matanya masih menitik di antara janggut hingga membasahi sajadahnya. Dan ketika itulah Allah swt menurunkan kemenangan pasukan Islam atas pasukan salib.
Saudaraku,
Beristighfarlah dan ucapkan bulir-bulir do’a untuk para mujahidin di Palestina, Libanon dan para pejuang kebenaran di mana pun berada.Sekarang. Ucapkanlah D o ’a itu, Sekarang. Readmore »»
Saudaraku,
Bayangkanlah kegentingan yang dialami Nabiyullah Musa as saat ia dan kaumnya dikejar Fir’aun dan bala tentaranya, sampai terpojok di tepi laut. Perhatikanlah bagaimana kegentingan ini digambarkan oleh Al-Qur’anul Karim. “Maka, ketika kedua kelompok itu saling melihat, berkatalah pengikut Musa , “Sungguh kita akan benar-benar tersusul.” Musa menjawab, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya Tuhanku menyertaiku. Dia akan memberi petujuk kepadaku.” (QS.Asy Syu ’ara:62).
Betapa kegentingan dan kengerian menyergap hati kaum Bani Israel yang saat itu dipimpin Musa as. Tapi Musa as memiliki keyakinan dan ketergantungan yang kuat dengan Allah swt. Ia yakin, Allah pasti membelanya. Ia yakin, bahwa tak ada yang memiliki kekuatan kecuali Allah swt.Musa as, begitu dekat dengan Allah swt.
Saudaraku,
Mari kita lihat lagi jejak para pejuang di jalan Allah swt yang ditinggalkan dalam lembar-lembar sejarah. Kita ingin mengetahui dan turut merasakan bagaimana kedudukan keyakinan dan do ’a kepada Allah sebagai senjata paling ampuh hingga kemenangan berhasil mereka raih.
Lihatlah saudaraku,
Di malam senyap dan gelap. Malam peperangan Badar Kubro. Para sahabat radhiallahuanhum tertidur. Kecuali Rasulullah saw sedang terjaga dan shalat di samping sebuah pohon. Ia berulangkali sujud dengan mengatakan, “Yaa hayyu yaa Qayyuuum... (Wahai Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri) Rasulullah saw terus menerus mengulang-ulang ucapan itu, agar Allah swt mendatangkan kemenangan pada kaum beriman. (Al Bidayah wa An Nihayah , 5/82). Seperti itulah keyakinan berpadu permohonan yang sangat dari seorang Rasulullah saw saat menghadapi suasana genting. Lalu, ketika melihat pasukan Quraisy, ia mengatakan, “Ya Allah inilah Quraisy telah datang dengan kesombongan dan kepongahannya. Mereka mendustai Rasul-Mu. Ya Allah timpakanlah bencana kepada mereka esok.(Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, 3/168)
Umar bin Khattab meriwayatkan, detik-detik pecahnya pertempuran di Badar, Rasulullah saw memandang para sahabatnya yang berjumlah tiga ratusan orang. Lalu ia melihat barisan kaum Musyirikin yang jumlahnya lebih dari 1000 orang. Utusan Allah swt itu bersabda, “Ya Allah, berikanlah kepadaku apa yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau musnahkan kelompok Islam ini, Engkau tidak lagi disembah di muka bumi selamanya.” Kata Umar,, Rasulullah saw terus menerus berdoa sampai selendangnya terjatuh dari pundaknya. Abu Bakar ra yang memungutnya mengatakan, “Wahai Nabi Allah, cukup sudah do ’amu kepada Allah swt. Dia pasti memberimu apa yang dijanjikan kepadamu...” (HR.Ahmad)
Saudaraku,
Pernahkah kita mendengar kisah Nu ’man bin Maqran? Seorang pejuang Islam yang memimpin peperangan melawan Persia. Ketika itu, pasukan Islam telah berminggu- minggu mengepung benteng Persia yang kokoh karena pertahanannya melewati parit parit. Nu ’man berdiskusi dengan komandan perangnya. Mereka merumuskan strategi untuk memancing pasukan Persia keluar dari parit-parit mereka. Caranya, pasukan Islam berpura-pura lari meninggalkan medan tempur sampai jika orang-orang Persia keluar dari
parit, barulah pasukan Islam berbalik menyerang mereka. Nu ’man sepakat dengan strategi ini. Ia mengatakan kepada rekan-rekannya, “Nanti akulah yang akan meneriakkan takbir tiga kali. Jika kalian mendengar teriakan takbir ketiga, berarti saat itulah kalian mulai peperangan.” Setelah itu, Nu ’man pergi ke salah satu tempat dan berdo ’a kepada Allah swt dengan mengatakan, “Ya Allah, muliakanlah agamamu, menangkanlah hamba-Mu. Ya Allah aku memohon kepada-Mu agar mataku sejuk dengan kemenangan yang menjadikan Islam mulia, dan matikanlah aku dalam keadaan syahid.” Orang-orang yang mendengar do ’a Nu ’man menangis. Mereka sama-sama larut dalam munajat dan do ’a dengan penuh khusyu ’ dan tunduk.
Saudaraku,
Allah swt mengabulkan do ’a mereka. Kaum Muslimin diberikan kemenangan oleh Allah swt dengan kemenangan yang luar biasa. Allah swt juga mengabulkan do ’a Nu ’man bin Maqran karena dialah prajurit pertama yang syahid di medan perang ketika itu. (Al Bidayah wa An Nihayah, 7/89) Seorang sahabat ada yang bernama Qutaibah bin Muslim dan Muhammad bin Wasi ’. Ibnul Jauzi dalam Shifatu Shafwah menceritakan pengalaman keduanya menjelang peperangan meletus. Tiba-tiba Muhammad bin Wasi ’ menghilang dari barisan. Qutaibah lalu memerintahkan pasukannya melihat siapa yang ada di dalam masjid. Pasukannya mengatakan, “Tak ada seorangpun kecuali Muhammad bin Wasi ’. Ia sedang mengangkat jari-jarinya.” Qutaibah mengatakan,, “Jari-jarinya yang terangkat itu lebih aku sukai daripada tiga puluh ribu pemuda yang kuat dengan pedang terhunus.”
Perhatikanlah saudaraku,
Bagaimana kedudukan dan kekuatan do ’a dalam pandangan para salafushalih. Lihatlah lagi saudaraku, bagaimana Shalahuddin Al Ayyubi, tokoh pahlawan pembebas Al Quds dari tangan pasukan salib. Dikisahkan, “Shalahuddin, ketika mendengar pasukan salib berhasil mendesak kaum Muslimin, ia tersungkur sujud kepada Allah swt sambil berdo ’a, “Ya Allah aku telah terputus dari sebab-sebab bumi untuk memenangkan agama-Mu. Tak ada yang tersisa kecuali menyerahkan semuanya kepada-Mu, sambil tetap berpegang pada ajaran-Mu dan bersandar pada karunia-Mu. Engkaulah Peno-longku dan sebaik-baik Pelindung.” Dalam sujudnya itu ia menangis dan air matanya masih menitik di antara janggut hingga membasahi sajadahnya. Dan ketika itulah Allah swt menurunkan kemenangan pasukan Islam atas pasukan salib.
Saudaraku,
Beristighfarlah dan ucapkan bulir-bulir do’a untuk para mujahidin di Palestina, Libanon dan para pejuang kebenaran di mana pun berada.Sekarang. Ucapkanlah D o ’a itu, Sekarang. Readmore »»
Sunday, August 8, 2010
Cinta Dari Darah dan Ruh
1
Lelaki itu sudah mengabdi kepada ibunya sampai tuntas. Ia menggendong ibunya yang lumpuh. Memandikan dan mensucikannya dari semua hadatsnya. Ikhlas penuh ia melakukannya. Itu balas budi dari seorang anak yang menyadari bahwa perintah berbuat baik kepada orang tua diturunkan Allah persis setelah perintah tauhid.
Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya pada Umar Bin Khattab :”Apakah pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?” lalu Umar pun menjawab :”Tidak! Tidak cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibumu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu.”
Tidak! Sedikitpun Tidak!
Tidak ada budi yang dapat membalas cinta seorang ibu. Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dua hati. Tapi ia tidak dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam satu rahim sang ibu selama sembilan bulan. Di sana sang anak hidup bergeliat dalam sunyi sembari menyedot saripati kehidupan sang ibu. Ia lalu keluar di antara darah, inilah ruh baru yang dititip dari Ruh yang lain.
Itu sebabnya cinta ibu merupakan sebuah cinta misi. Tapi dengan ciri lain yang membedakannya dari jenis cinta misi lainnya, yaitu darah! Ya, darah! Anak adalah metamorfosis dari darah dan daging sang ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Cinta ini adalah campuran darah dan ruh. Ketika seorang ibu menatap anaknya yang sedang tertidur lelap. Ia akan berkata di akar hatinya : itu darahnya, itu ruhnya! Tapi ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia akan berkata di dasar jiwanya : itu hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya!
Itu kelezatan jiwa yang tercipta dari hubungan darah. Tapi di atas kelezatan jiwa itu ada kelezatan ruhani. Itu karena kesadarannya bahwa anak adalah amanat langit yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat. Kalau anak merupakan isyarat kehadirannya di muka bumi, maka ia juga penentu masa depannya di akhirat. Dari situ ia menemukan semangat penumbuhan tanpa batas : anak memberinya kebanggaan eksistensial, juga sebuah pertanggungjawaban dan sepucuk harapan tentang tempat yang lebih terhormat di surga berkat doa-doa sang anak.
Dalam semua perasaan itu sang ibu tidak sendiri. Sang ayah juga ikut serta bersamanya. Sebab anak itu bukti kesepakatan jiwa mereka. Mungkin karena kesadaran tentang sisi dalam jiwa orang tua itu, DR. Mustafa Sibai menulis persembahan kecil di halaman depan buku monumentalnya “Kedudukan Sunnah Dalam Syariat Islam”. Buku ini, kata Sibai, kupersembahkan kepada ruh ayahandaku yang senantiasa melantunkan doa-doanya :”Ya Allah, jadikanlah anakku ini sebagai sumber kebaikanku di akhirat kelak.”
Doa sang ibu dan sang ayah selamanya merupakan potongan-potongan jiwanya! Karena itu ia selamanya terkabul! Readmore »»
Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya pada Umar Bin Khattab :”Apakah pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?” lalu Umar pun menjawab :”Tidak! Tidak cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibumu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu.”
Tidak! Sedikitpun Tidak!
Tidak ada budi yang dapat membalas cinta seorang ibu. Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dua hati. Tapi ia tidak dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam satu rahim sang ibu selama sembilan bulan. Di sana sang anak hidup bergeliat dalam sunyi sembari menyedot saripati kehidupan sang ibu. Ia lalu keluar di antara darah, inilah ruh baru yang dititip dari Ruh yang lain.
Itu sebabnya cinta ibu merupakan sebuah cinta misi. Tapi dengan ciri lain yang membedakannya dari jenis cinta misi lainnya, yaitu darah! Ya, darah! Anak adalah metamorfosis dari darah dan daging sang ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Cinta ini adalah campuran darah dan ruh. Ketika seorang ibu menatap anaknya yang sedang tertidur lelap. Ia akan berkata di akar hatinya : itu darahnya, itu ruhnya! Tapi ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia akan berkata di dasar jiwanya : itu hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya!
Itu kelezatan jiwa yang tercipta dari hubungan darah. Tapi di atas kelezatan jiwa itu ada kelezatan ruhani. Itu karena kesadarannya bahwa anak adalah amanat langit yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat. Kalau anak merupakan isyarat kehadirannya di muka bumi, maka ia juga penentu masa depannya di akhirat. Dari situ ia menemukan semangat penumbuhan tanpa batas : anak memberinya kebanggaan eksistensial, juga sebuah pertanggungjawaban dan sepucuk harapan tentang tempat yang lebih terhormat di surga berkat doa-doa sang anak.
Dalam semua perasaan itu sang ibu tidak sendiri. Sang ayah juga ikut serta bersamanya. Sebab anak itu bukti kesepakatan jiwa mereka. Mungkin karena kesadaran tentang sisi dalam jiwa orang tua itu, DR. Mustafa Sibai menulis persembahan kecil di halaman depan buku monumentalnya “Kedudukan Sunnah Dalam Syariat Islam”. Buku ini, kata Sibai, kupersembahkan kepada ruh ayahandaku yang senantiasa melantunkan doa-doanya :”Ya Allah, jadikanlah anakku ini sebagai sumber kebaikanku di akhirat kelak.”
Doa sang ibu dan sang ayah selamanya merupakan potongan-potongan jiwanya! Karena itu ia selamanya terkabul! Readmore »»
Saturday, July 10, 2010
Syarah Hadits Arba'in (Bab Iman, Islam, dan Ihsan)
2
Umar ra. berkata: ketika kami tengah berada di majelis bersama Rasulullah pada suatu hari, tiba-tiba tampak dihadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Lalu ia duduk di hadapan Rasulullah dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah dan meletakkan tangannya diatas paha Rasulullah, selanjutnya ia berkata," Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam " Rasulullah menjawab,"Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Alloh dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Alloh, engkau mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Romadhon dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya." Orang itu berkata,"Engkau benar," kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya Orang itu berkata lagi," Beritahukan kepadaku tentang Iman" Rasulullah menjawab,"Engkau beriman kepada Alloh, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk" Orang tadi berkata," Engkau benar" Orang itu berkata lagi," Beritahukan kepadaku tentang Ihsan" Rasulullah menjawab,"Engkau beribadah kepada Alloh seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu." Orang itu berkata lagi,"Beritahukan kepadaku tentang kiamat" Rasulullah menjawab," Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang bertanya." selanjutnya orang itu berkata lagi,"beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya" Rasulullah menjawab," Jika hamba perempuan telah melahirkan tuan puterinya, jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan." Kemudian pergilah ia, aku tetap tinggal beberapa lama kemudian Rasulullah berkata kepadaku, "Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya itu?" Saya menjawab," Alloh dan Rosul-Nya lebih mengetahui" Rasulullah berkata," Ia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan kepadamu tentang agama kepadamu" (Imam Muslim)
Penjelasan :
Hadits ini sangat berharga karena mencakup semua fungsi perbuatan lahiriah dan bathiniah, serta menjadi tempat merujuk bagi semua ilmu syari’at dan menjadi sumbernya. Oleh sebab itu hadits ini menjadi induk ilmu sunnah.
Hadits ini menunjukkan adanya contoh berpakaian yang bagus, berperilaku yang baik dan bersih ketika datang kepada ulama, orang terhormat atau penguasa, karena jibril datang untuk mengajarkan agama kepada manusia dalam keadaan seperti itu.
Kalimat “ Ia meletakkan kedua telapak tangannya diatas kedua paha beliau, lalu ia berkata : Wahai Muhammad…..” adalah riwayat yang masyhur. Nasa’i meriwayatkan dengan kalimat, “Dan ia meletakkan kedua tangannya pada kedua lutut Rasulullah….” Dengan demikian yang dimaksud kedua pahanya adalah kedua lututnya.
Dari hadits ini dipahami bahwa islam dan iman adalah dua hal yang berbeda, baik secara bahasa maupun syari’at. Namun terkadang, dalam pengertian syari’at, kata islam dipakai dengan makna iman dan sebaliknya.
Kalimat, “Kami heran, dia bertanya tetapi dia sendiri yang membenarkannya” mereka para shahabat Rasulullah menjadi heran atas kejadian tersebut, karena orang yang datang kepada Rasulullah hanya dikenal oleh beliau dan orang itu belum pernah mereka ketahui bertemu dengan Rasulullah dan mendengarkan sabda beliau. Kemudian ia mengajukan pertanyaan yang ia sendiri sudah tahu jawabannya bahkan membenarkannya, sehingga orang-orang heran dengan kejadian itu.
Kalimat, “Engkau beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, dan kepada kitab-kitab-Nya….” Iman kepada Allah yaitu mengakui bahwa Allah itu ada dan mempunyai sifat-sifat Agung serta sempurna, bersih dari sifat kekurangan,. Dia tunggal, benar, memenuhi segala kebutuhan makhluk-Nya, tidak ada yang setara dengan Dia, pencipta segala makhluk, bertindak sesuai kehendak-Nya dan melakukan segala kekuasaan-Nya sesuai keinginan-Nya.
Iman kepada Malaikat, maksudnya mengakui bahwa para malaikat adalah hamba Allah yang mulia, tidak mendahului sebelum ada perintah, dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya.
Iman kepada Para Rasul Allah, maksudnya mengakui bahwa mereka jujur dalam menyampaikan segala keterangan yang diterima dari Allah dan mereka diberi mukjizat yang mengukuhkan kebenarannya, menyampaikan semua ajaran yang diterimanya, menjelaskan kepada orang-orang mukalaf apa-apa yang Allah perintahkan kepada mereka. Para Rasul Allah wajib dimuliakan dan tidak boleh dibeda-bedakan.
Iman kepada hari Akhir, maksudnya mengakui adanya kiamat, termasuk hidup setelah mati, berkumpul dipadang Mahsyar, adanya perhitungan dan timbangan amal, menempuh jembatan antara surga dan neraka, serta adanya Surga dan Neraka, dan juga mengakui hal-hal lain yang tersebut dalam Qur’an dan Hadits Rosululloh.
Iman kepada taqdir yaitu mengakui semua yang tersebut diatas, ringkasnya tersebut dalam firman Allah QS. Ash-Shaffaat : 96, “Allah menciptakan kamu dan semua perbuatan kamu” dan dalam QS. Al-Qamar : 49, “Sungguh segala sesuatu telah kami ciptakan dengan ukuran tertentu” dan di ayat-ayat yang lain. Demikian juga dalam Hadits Rasulullah, Dari Ibnu Abbas, “Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan suatu keuntungan kepadamu, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang Allah telah tetapkan pada dirimu. Sekiranya merekapun berkumpul untuk melakukan suatu yang membahayakan dirimu, niscaya tidak akan membahayakan dirimu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Segenap pena diangkat dan lembaran-lembaran telah kering”
Para Ulama mengatakan, Barangsiapa membenarkan segala urusan dengan sungguh-sungguh lagi penuh keyakinan tidak sedikitpun terbersit keraguan, maka dia adalah mukmin sejati.
Kalimat, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya….” Pada pokoknya merujuk pada kekhusyu’an dalam beribadah, memperhatikan hak Allah dan menyadari adanya pengawasan Allah kepadanya serta keagungan dan kebesaran Allah selama menjalankan ibadah.
Kalimat, “Beritahukan kepadaku tanda-tandanya ? sabda beliau : Budak perempuan melahirkan anak tuannya” maksudnya kaum muslimin kelak akan menguasai negeri kafir, sehingga banyak tawanan, maka budak-budak banyak melahirkan anak tuannya dan anak ini akan menempati posisi majikan karena kedudukan bapaknya. Hal ini menjadi sebagian tanda-tanda kiamat. Ada juga yang mengatakan bahwa itu menunjukkan kerusakan umat manusia sehingga orang-orang terhormat menjual budak yang menjadi ibu dari anak-anaknya, sehingga berpindah-pindah tangan yang mungkin sekali akan jatuh ke tangan anak kandungnya tanpa disadarinya.
Hadits ini juga menyatakan adanya larangan berlomba-lomba membangun bangunan yang sama sekali tidak dibutuhkan. Sebagaimana sabda Rasulullah,” Anak adam diberi pahala untuk setiap belanja yang dikeluarkannya kecuali belanja untuk mendirikan bangunan”
Kalimat, “Penggembala Domba” secara khusus disebutkan karena merekalah yang merupakan golongan badui yang paling lemah sehingga umumnya tidak mampu mendirikan bangunan, berbeda dengan para pemilik onta yang umumnya orang terhormat.
Kalimat, “Saya tetap tinggal beberapa lama” maksudnya Umar ra tetap tinggal ditempat itu beberapa lama setelah orang yang bertanya pergi, dalam riwayat yang lain yang dimaksud tetap tinggal adalah Rosululloh.
Kalimat, “Ia datang kepada kamu sekalian untuk mengajarkan agamamu” maksudnya mengajarkan pokok-pokok agamamu, demikian kata Syaikh Muhyidin An Nawawi dalam syarah shahih muslim. Isi hadits ini yang terpenting adalah penjelasan islam, iman dan ihsan, serta kewajiban beriman kepada Taqdir Allah SWT.
Sesungguhnya keimanan seseorang dapat bertambah dan berkurang, QS. Al-Fath : 4, “Untuk menambah keimanan mereka pada keimanan yang sudah ada sebelumnya”. Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya bahwa ibnu Abu Mulaikah berkata, “Aku temukan ada 30 orang shahabat Rasulullah yang khawatir ada sifat kemunafikan dalam dirinya. Tidak ada seorangpun dari mereka yang berani mengatakan bahwa ia memiliki keimanan seperti halnya keimanan Jibril dan Mikail ‘alaihimus salaam”
Kata iman mencakup pengertian kata islam dan semua bentuk ketaatan yang tersebut dalam hadits ini, karena semua hal tersebut merupakan perwujudan dari keyakinan yang ada dalam bathin yang menjadi tempat keimanan. Oleh karena itu kata Mukmin secara mutlak tidak dapat diterapkan pada orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar atau meninggalkan kewajiban agama, sebab suatu istilah harus menunjukkan pengertian yang lengkap dan tidak boleh dikurangi, kecuali dengan maksud tertentu. Juga dibolehkan menggunakan kata Tidak beriman sebagaimana pengertian hadits Rasulullah, “Seseorang tidak berzina ketika dia beriman dan tidak mencuri ketika dia beriman” maksudnya seseorang dikatakan tidak beriman ketika berzina atau ketika dia mencuri.
Kata islam mencakup makna iman dan makna ketaatan, syaikh Abu ‘Umar berkata, “kata iman dan islam terkadang pengertiannya sama terkadang berbeda. Setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin” ia berkata, “pernyataan seperti ini sesuai dengan kebenaran” Keterangan-keterangan Al-Qur’an dan Assunnah berkenaan dengan iman dan islam sering dipahami keliru oleh orang-orang awam. Apa yang telah kami jelaskan diatas telah sesuai dengan pendirian jumhur ulama ahli hadits dan lain-lain. Wallahu a’lam..
Readmore »»
Penjelasan :
Hadits ini sangat berharga karena mencakup semua fungsi perbuatan lahiriah dan bathiniah, serta menjadi tempat merujuk bagi semua ilmu syari’at dan menjadi sumbernya. Oleh sebab itu hadits ini menjadi induk ilmu sunnah.
Hadits ini menunjukkan adanya contoh berpakaian yang bagus, berperilaku yang baik dan bersih ketika datang kepada ulama, orang terhormat atau penguasa, karena jibril datang untuk mengajarkan agama kepada manusia dalam keadaan seperti itu.
Kalimat “ Ia meletakkan kedua telapak tangannya diatas kedua paha beliau, lalu ia berkata : Wahai Muhammad…..” adalah riwayat yang masyhur. Nasa’i meriwayatkan dengan kalimat, “Dan ia meletakkan kedua tangannya pada kedua lutut Rasulullah….” Dengan demikian yang dimaksud kedua pahanya adalah kedua lututnya.
Dari hadits ini dipahami bahwa islam dan iman adalah dua hal yang berbeda, baik secara bahasa maupun syari’at. Namun terkadang, dalam pengertian syari’at, kata islam dipakai dengan makna iman dan sebaliknya.
Kalimat, “Kami heran, dia bertanya tetapi dia sendiri yang membenarkannya” mereka para shahabat Rasulullah menjadi heran atas kejadian tersebut, karena orang yang datang kepada Rasulullah hanya dikenal oleh beliau dan orang itu belum pernah mereka ketahui bertemu dengan Rasulullah dan mendengarkan sabda beliau. Kemudian ia mengajukan pertanyaan yang ia sendiri sudah tahu jawabannya bahkan membenarkannya, sehingga orang-orang heran dengan kejadian itu.
Kalimat, “Engkau beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, dan kepada kitab-kitab-Nya….” Iman kepada Allah yaitu mengakui bahwa Allah itu ada dan mempunyai sifat-sifat Agung serta sempurna, bersih dari sifat kekurangan,. Dia tunggal, benar, memenuhi segala kebutuhan makhluk-Nya, tidak ada yang setara dengan Dia, pencipta segala makhluk, bertindak sesuai kehendak-Nya dan melakukan segala kekuasaan-Nya sesuai keinginan-Nya.
Iman kepada Malaikat, maksudnya mengakui bahwa para malaikat adalah hamba Allah yang mulia, tidak mendahului sebelum ada perintah, dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya.
Iman kepada Para Rasul Allah, maksudnya mengakui bahwa mereka jujur dalam menyampaikan segala keterangan yang diterima dari Allah dan mereka diberi mukjizat yang mengukuhkan kebenarannya, menyampaikan semua ajaran yang diterimanya, menjelaskan kepada orang-orang mukalaf apa-apa yang Allah perintahkan kepada mereka. Para Rasul Allah wajib dimuliakan dan tidak boleh dibeda-bedakan.
Iman kepada hari Akhir, maksudnya mengakui adanya kiamat, termasuk hidup setelah mati, berkumpul dipadang Mahsyar, adanya perhitungan dan timbangan amal, menempuh jembatan antara surga dan neraka, serta adanya Surga dan Neraka, dan juga mengakui hal-hal lain yang tersebut dalam Qur’an dan Hadits Rosululloh.
Iman kepada taqdir yaitu mengakui semua yang tersebut diatas, ringkasnya tersebut dalam firman Allah QS. Ash-Shaffaat : 96, “Allah menciptakan kamu dan semua perbuatan kamu” dan dalam QS. Al-Qamar : 49, “Sungguh segala sesuatu telah kami ciptakan dengan ukuran tertentu” dan di ayat-ayat yang lain. Demikian juga dalam Hadits Rasulullah, Dari Ibnu Abbas, “Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan suatu keuntungan kepadamu, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang Allah telah tetapkan pada dirimu. Sekiranya merekapun berkumpul untuk melakukan suatu yang membahayakan dirimu, niscaya tidak akan membahayakan dirimu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Segenap pena diangkat dan lembaran-lembaran telah kering”
Para Ulama mengatakan, Barangsiapa membenarkan segala urusan dengan sungguh-sungguh lagi penuh keyakinan tidak sedikitpun terbersit keraguan, maka dia adalah mukmin sejati.
Kalimat, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya….” Pada pokoknya merujuk pada kekhusyu’an dalam beribadah, memperhatikan hak Allah dan menyadari adanya pengawasan Allah kepadanya serta keagungan dan kebesaran Allah selama menjalankan ibadah.
Kalimat, “Beritahukan kepadaku tanda-tandanya ? sabda beliau : Budak perempuan melahirkan anak tuannya” maksudnya kaum muslimin kelak akan menguasai negeri kafir, sehingga banyak tawanan, maka budak-budak banyak melahirkan anak tuannya dan anak ini akan menempati posisi majikan karena kedudukan bapaknya. Hal ini menjadi sebagian tanda-tanda kiamat. Ada juga yang mengatakan bahwa itu menunjukkan kerusakan umat manusia sehingga orang-orang terhormat menjual budak yang menjadi ibu dari anak-anaknya, sehingga berpindah-pindah tangan yang mungkin sekali akan jatuh ke tangan anak kandungnya tanpa disadarinya.
Hadits ini juga menyatakan adanya larangan berlomba-lomba membangun bangunan yang sama sekali tidak dibutuhkan. Sebagaimana sabda Rasulullah,” Anak adam diberi pahala untuk setiap belanja yang dikeluarkannya kecuali belanja untuk mendirikan bangunan”
Kalimat, “Penggembala Domba” secara khusus disebutkan karena merekalah yang merupakan golongan badui yang paling lemah sehingga umumnya tidak mampu mendirikan bangunan, berbeda dengan para pemilik onta yang umumnya orang terhormat.
Kalimat, “Saya tetap tinggal beberapa lama” maksudnya Umar ra tetap tinggal ditempat itu beberapa lama setelah orang yang bertanya pergi, dalam riwayat yang lain yang dimaksud tetap tinggal adalah Rosululloh.
Kalimat, “Ia datang kepada kamu sekalian untuk mengajarkan agamamu” maksudnya mengajarkan pokok-pokok agamamu, demikian kata Syaikh Muhyidin An Nawawi dalam syarah shahih muslim. Isi hadits ini yang terpenting adalah penjelasan islam, iman dan ihsan, serta kewajiban beriman kepada Taqdir Allah SWT.
Sesungguhnya keimanan seseorang dapat bertambah dan berkurang, QS. Al-Fath : 4, “Untuk menambah keimanan mereka pada keimanan yang sudah ada sebelumnya”. Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya bahwa ibnu Abu Mulaikah berkata, “Aku temukan ada 30 orang shahabat Rasulullah yang khawatir ada sifat kemunafikan dalam dirinya. Tidak ada seorangpun dari mereka yang berani mengatakan bahwa ia memiliki keimanan seperti halnya keimanan Jibril dan Mikail ‘alaihimus salaam”
Kata iman mencakup pengertian kata islam dan semua bentuk ketaatan yang tersebut dalam hadits ini, karena semua hal tersebut merupakan perwujudan dari keyakinan yang ada dalam bathin yang menjadi tempat keimanan. Oleh karena itu kata Mukmin secara mutlak tidak dapat diterapkan pada orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar atau meninggalkan kewajiban agama, sebab suatu istilah harus menunjukkan pengertian yang lengkap dan tidak boleh dikurangi, kecuali dengan maksud tertentu. Juga dibolehkan menggunakan kata Tidak beriman sebagaimana pengertian hadits Rasulullah, “Seseorang tidak berzina ketika dia beriman dan tidak mencuri ketika dia beriman” maksudnya seseorang dikatakan tidak beriman ketika berzina atau ketika dia mencuri.
Kata islam mencakup makna iman dan makna ketaatan, syaikh Abu ‘Umar berkata, “kata iman dan islam terkadang pengertiannya sama terkadang berbeda. Setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin” ia berkata, “pernyataan seperti ini sesuai dengan kebenaran” Keterangan-keterangan Al-Qur’an dan Assunnah berkenaan dengan iman dan islam sering dipahami keliru oleh orang-orang awam. Apa yang telah kami jelaskan diatas telah sesuai dengan pendirian jumhur ulama ahli hadits dan lain-lain. Wallahu a’lam..
Readmore »»
Sunday, July 4, 2010
Syarah Hadits Arba'in (Bab Niat)
0
Amirul mukminin, Umar bin khathab radhiyallahu anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.
Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari (orang Bukhara) dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi di dalam kedua kitabnya yang paling shahih di antara semua kitab hadits.
Penjelasan :
Hadits ini adalah Hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya dan didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya pada beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini pada akhir bab Jihad.
Hadits ini salah satu pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’I berkata : “Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata imam Baihaqi dll. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i, “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih”, sejumlah Ulama’ mengatakan hadits ini mencakup sepertiga ajaran islam.
Para ulama gemar memulai karangan-karangannya dengan mengutip hadits ini. Di antara mereka yang memulai dengan hadits ini pada kitabnya adalah Imam Bukhari. Abdurrahman bin Mahdi berkata : “bagi setiap penulis buku hendaknya memulai tulisannya dengan hadits ini, untuk mengingatkan para pembacanya agar meluruskan niatnya”.
Hadits ini dibanding hadits-hadits yang lain adalah hadits yang sangat terkenal, tetapi dilihat dari sumber sanadnya, hadits ini adalah hadits ahad, karena hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin Abi Waqash, kemudian hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dan selanjutnya hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id Al Anshari, kemudian barulah menjadi terkenal pada perawi selanjutnya. Lebih dari 200 orang rawi yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan kebanyakan mereka adalah para Imam.
Pertama : Kata “Innamaa” bermakna “hanya/pengecualian” , yaitu menetapkan sesuatu yang disebut dan mengingkari selain yang disebut itu. Kata “hanya” tersebut terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian secara mutlak dan terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian yang terbatas. Untuk membedakan antara dua pengertian ini dapat diketahui dari susunan kalimatnya.
Misalnya, kalimat pada firman Allah : “Innamaa anta mundzirun” , “Engkau (Muhammad) hanyalah seorang penyampai ancaman”. (QS. Ar-Ra’d : 7) Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 3 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Kalimat ini secara sepintas menyatakan bahwa tugas Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam hanyalah menyampaikan ancaman dari Allah, tidak mempunyai tugas-tugas lain. Padahal sebenarnya beliau mempunyai banyak sekali tugas, seperti menyampaikan kabar gembira dan lain sebagainya. Begitu juga kalimat pada firman Allah : “Innamal hayatud dunyaa la’ibun walahwun” , “Kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan dan permainan”. (QS. Muhammad : 36)
Kalimat ini (wallahu a’lam) menunjukkan pembatasan berkenaan dengan akibat atau dampaknya, apabila dikaitkan dengan hakikat kehidupan dunia, maka kehidupan dapat menjadi wahana berbuat kebaikan. Dengan demikian apabila disebutkan kata “hanya” dalam suatu kalimat, hendaklah diperhatikan betul pengertian yang dimaksudkan.
Pada Hadits ini, kalimat “Segala amal hanya menurut niatnya” yang dimaksud dengan amal disini adalah semua amal yang dibenarkan syari’at, sehingga setiap amal yang dibenarkan syari’at tanpa niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama islam. Tentang sabda Rasulullah, “semua amal itu tergantung niatnya” ada perbedaan pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai syarat sehingga amal tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat.
Kedua : Kalimat “Dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya” oleh Khathabi dijelaskan bahwa kalimat ini menunjukkan pengertian yang berbeda dari sebelumnya. Yaitu menegaskan sah tidaknya amal bergantung pada niatnya. Juga Syaikh Muhyidin An-Nawawi menerangkan bahwa niat menjadi syarat sahnya amal. Sehingga seseorang yang meng-qadha sholat tanpa niat maka tidak sah Sholatnya, walahu a’lam
Ketiga : Kalimat “Dan Barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya” menurut penetapan ahli bahasa Arab, bahwa kalimat syarat dan jawabnya, begitu pula mubtada’ (subyek) dan khabar (predikatnya) haruslah berbeda, sedangkan di kalimat ini sama. Karena itu kalimat syarat bermakna niat atau maksud baik secara bahasa atau syari’at, maksudnya barangsiapa berhijrah dengan niat karena Allah dan Rosul-Nya maka akan mendapat pahala dari hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya.
Hadits ini memang muncul karena adanya seorang lelaki yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah untuk mengawini perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk mendapatkan pahala hijrah karena itu ia dijuluki Muhajir Ummu Qais. – wallahu a’lam – Readmore »»
Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari (orang Bukhara) dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi di dalam kedua kitabnya yang paling shahih di antara semua kitab hadits.
Penjelasan :
Hadits ini adalah Hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya dan didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya pada beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini pada akhir bab Jihad.
Hadits ini salah satu pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’I berkata : “Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata imam Baihaqi dll. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i, “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih”, sejumlah Ulama’ mengatakan hadits ini mencakup sepertiga ajaran islam.
Para ulama gemar memulai karangan-karangannya dengan mengutip hadits ini. Di antara mereka yang memulai dengan hadits ini pada kitabnya adalah Imam Bukhari. Abdurrahman bin Mahdi berkata : “bagi setiap penulis buku hendaknya memulai tulisannya dengan hadits ini, untuk mengingatkan para pembacanya agar meluruskan niatnya”.
Hadits ini dibanding hadits-hadits yang lain adalah hadits yang sangat terkenal, tetapi dilihat dari sumber sanadnya, hadits ini adalah hadits ahad, karena hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin Abi Waqash, kemudian hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dan selanjutnya hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id Al Anshari, kemudian barulah menjadi terkenal pada perawi selanjutnya. Lebih dari 200 orang rawi yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan kebanyakan mereka adalah para Imam.
Pertama : Kata “Innamaa” bermakna “hanya/pengecualian” , yaitu menetapkan sesuatu yang disebut dan mengingkari selain yang disebut itu. Kata “hanya” tersebut terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian secara mutlak dan terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian yang terbatas. Untuk membedakan antara dua pengertian ini dapat diketahui dari susunan kalimatnya.
Misalnya, kalimat pada firman Allah : “Innamaa anta mundzirun” , “Engkau (Muhammad) hanyalah seorang penyampai ancaman”. (QS. Ar-Ra’d : 7) Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 3 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Kalimat ini secara sepintas menyatakan bahwa tugas Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam hanyalah menyampaikan ancaman dari Allah, tidak mempunyai tugas-tugas lain. Padahal sebenarnya beliau mempunyai banyak sekali tugas, seperti menyampaikan kabar gembira dan lain sebagainya. Begitu juga kalimat pada firman Allah : “Innamal hayatud dunyaa la’ibun walahwun” , “Kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan dan permainan”. (QS. Muhammad : 36)
Kalimat ini (wallahu a’lam) menunjukkan pembatasan berkenaan dengan akibat atau dampaknya, apabila dikaitkan dengan hakikat kehidupan dunia, maka kehidupan dapat menjadi wahana berbuat kebaikan. Dengan demikian apabila disebutkan kata “hanya” dalam suatu kalimat, hendaklah diperhatikan betul pengertian yang dimaksudkan.
Pada Hadits ini, kalimat “Segala amal hanya menurut niatnya” yang dimaksud dengan amal disini adalah semua amal yang dibenarkan syari’at, sehingga setiap amal yang dibenarkan syari’at tanpa niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama islam. Tentang sabda Rasulullah, “semua amal itu tergantung niatnya” ada perbedaan pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai syarat sehingga amal tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat.
Kedua : Kalimat “Dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya” oleh Khathabi dijelaskan bahwa kalimat ini menunjukkan pengertian yang berbeda dari sebelumnya. Yaitu menegaskan sah tidaknya amal bergantung pada niatnya. Juga Syaikh Muhyidin An-Nawawi menerangkan bahwa niat menjadi syarat sahnya amal. Sehingga seseorang yang meng-qadha sholat tanpa niat maka tidak sah Sholatnya, walahu a’lam
Ketiga : Kalimat “Dan Barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya” menurut penetapan ahli bahasa Arab, bahwa kalimat syarat dan jawabnya, begitu pula mubtada’ (subyek) dan khabar (predikatnya) haruslah berbeda, sedangkan di kalimat ini sama. Karena itu kalimat syarat bermakna niat atau maksud baik secara bahasa atau syari’at, maksudnya barangsiapa berhijrah dengan niat karena Allah dan Rosul-Nya maka akan mendapat pahala dari hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya.
Hadits ini memang muncul karena adanya seorang lelaki yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah untuk mengawini perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk mendapatkan pahala hijrah karena itu ia dijuluki Muhajir Ummu Qais. – wallahu a’lam – Readmore »»
Friday, May 28, 2010
Biarkanlah Teguran itu Datang
0
Khudzaifah bin Al Yaman ra dalam suatu kesempatan, mendatangi sahabatnya, Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra.Tidak seperti biasanya, Khudzaifah yang juga disebut Shahibus sirri (penyimpan rahasia) Rasulullah saw itu mendapati Umar dengan raut muka yang muram, penuh kesedihan. Ia bertanya, “Apa yang sedang engkau pikirkan wahai Amirul Mukminin?”
Saudaraku,
Jawaban Umar sama sekali tidak terduga. Kesedihan dan kegalauan hatinya, bukan karena banyak masalah rakyat yang sudah pasti membuatnya letih. Kali ini, Umar justru tengah khawatir memikirkan kondisi dirinya sendiri. “Aku sedang takut bila aku melakukan kemungkaran, lalu tidak ada orang yang melarangku melakukannya karena segan dan rasa hormatnya kepadaku,” ujar Umar pelan. Sahabat Khudzaifah segera menjawab, “Demi Allah, jika aku melihatmu keluar dari kebenaran, aku pasti akan mencegahmu.” Seketika itu, wajah Umar bin Khattab berubah senang. “Alhamdulillah Yang menjadikan untukku sahabat-sahabat yang siap meluruskanku jika aku menyimpang,” katanya.
Seperti itulah Umar. Jika banyak orang gusar dan marah mendapat teguran atas kesalahan yang dilakukannya. Tapi ia justru menginginkan teguran. Khalifah kedua setelah Abu Bakar ra itu justru ingin kesalahannya diketahui orang lain, untuk kemudian ditegur dan diluruskan. Subhanallah....
Saudaraku,
Berterus terang kepada diri sendiri atas kesalahan yang dilakukan bukan hal mudah. Terlebih mengaku berterus terang kepada orang lain dan menerima kesalahan yang dilakukan. Lebih sulit lagi, menerima teguran orang lain atas kesalahan. Tapi sebenarnya, teguran atas kesalahan itu kita perlukan. Al-Qur ’an memberi banyak ilustrasi tentang ajakan bermuhasabah, mengevaluasi diri dan teguran langsung atas kesalahan. Metode muhasabah dan teguran yang ada dalam ayat-ayat Al Qur ’an, mengajak kita mau mengakui semua perbuatan dengan jujur dan tulus. Agar kita terbiasa berterus terang mengungkap berbagai kesalahan kepada diri sendiri. Memeriksa noda-noda kesalahan dan kekeliruan yang ada lalu mengakuinya. Bukan untuk membesar-besarkan kesalahan dan membuat diri menjadi gelisah, tetapi agar kita mengetahui kadar kebaikan dan keburukannya. Inilah makna yang dimaksud dalam perkataan Said bin Jubair saat ia ditanya, “Siapakah orang yang paling hebat ibadahnya?” Ia menjawab, “Orang yang merasa terluka karena dosa dan jika ia ingat dosanya ia memandang kecil amal perbuatannya.” (Az Zuhdu, Imam Ahmad, 387)
Saudaraku,
Perhatikanlah bagaimana para sahabat radhiallahu anhum dalam Perang Uhud mendapat teguran langsung dari Allah swt, saat mereka terluka dan mengalami situasi tertekan dan sulit.Ketika itu turun firman
Allah swt, “Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kalian pada hari bertemu dua pasukan itu, mereka digelincirkan oleh setan karena sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau). Dan sesungguhnya Allah telah mengampuni mereka...” (QS.Ali Imran 155). Lihatlah juga di saat bagaimana Allah swt menegur langsung mereka dalam firman-Nya surat Ali Imran ayat 165. “...Kalian berkata: “Dari mana datangnya kekalahan ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Perhatikanlah bagaimana
Allah swt menegur para sahabat dalam peperangan Hunain.“...Dan (ingatlah) peperangan Hunain, di waktu kalian menjadi sombong karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikit pun...” (QS.At Taubah :25)
Maksud teguran langsung tersebut adalah membangkitkan suasana muhasabah, mengangkat kejujuran dan keterbukaan yang bisa menjadikan seseorang mampu mengambil pelajaran dari kekeliruan dan kesalahannya. Musharahah atau keterusterangan untuk mengakui kesalahan adalah langkah paling awal untuk memulai perbaikan.
Saudaraku,
Teguran itu pahit. Tapi cobalah lebih jauh merenungi, pentingnya teguran atas kesalahan. Ustadz Abdul Hamid Al Bilali, dalam Waahaat Al Iiman, menguraikan banyak hal tentang akibat dosa dan kesalahan yang terus menerus dilakukan karena tidak mendapat teguran. Menurutnya, akibat kesalahan yang dilakukan terus menerus adalah sikap tidak merasa berdosa dan tidak merasa bersalah. Perasaan tidak bersalah dan tidak berdosa itu sendiri, bisa disebabkan kondisi akrab dengan dosa tertentu yang terlalu sering dikerjakan. Situasi seperti inilah yang paling ditakutkan Al Hasan Az Zayyat rahimahullah. Ia mengatakan, “Demi Allah, aku tidak peduli dengan banyaknya kemungkaran dan dosa. Yang paling aku takutkan ialah keakraban hati dengan kemungkaran dan dosa. Sebab jika sesuatu dikerjakan dengan rutin, maka jiwa menjadi akrab dengannya dan jika demikian, jiwa menjadi tidak memiliki kepekaan lagi.” (Tanbiihu Al Ghafiliin,93) Bagi Al Hasan, kesalahan dan dosa itu masih bisa dianggap kewajaran lantaran manusia memang pasti melakukan salah dan dosa. Yang ia khawatirkan justru ketika kesalahan dan dosa itu tidak dapat dihentikan, dilakukan terus menerus, lalu jiwa menjadi tidak sensitif terhadap kesalahan dan dosa itu. Juga, ketika dosa dan kesalahan tak terhenti karena tak mau menerima teguran yang bisa menyadarkan. Dan, ketika dosa dan kesalahan terlalu sering dilakukan karena tak ada nasihat serta teguran yang bisa menghentak diri dari kelalaian. Ada lagi akibat dosa yang lebih berbahaya dari kondisi itu. Yakni perasaan aman dan tidak mendapatkan hukuman dari berbagai dosa yang dilakukan. Artinya, seseorang bukan saja tidak menyadari dosa yang dilakukan, tapi lebih dari itu, merasa tenteram dan aman dari hukuman yang Allah swt berikan.
Saudaraku,
Camkanlah nasihat yang dituturkan Imam Ibnul Jauzi dalam Shaidul Khatir, “Ketahuilah, ujian paling besar bagi seseorang adalah merasa aman dan tidak mendapatkan siksa setelah mengerjakan dosa. Bisa jadi hukuman datang belakangan. Dan hukuman paling berat adalah jika seseorang tidak merasakan hukuman itu. Sampai hukuman itu menghilangkan agama, mencampakkan hati hingga tak bisa menentukan pilihan yang baik. Dan, di antara efek hukuman ini adalah seseorang tetap melakukan dosa sedangkan tubuh segar bugar dan seluruh keinginannya tercapai.” (Shaidul Khatir, 169)
Renungkanlah, kalimat terakhir dari nasihat Ibnul Jauzi ini..._ Readmore »»
Saudaraku,
Jawaban Umar sama sekali tidak terduga. Kesedihan dan kegalauan hatinya, bukan karena banyak masalah rakyat yang sudah pasti membuatnya letih. Kali ini, Umar justru tengah khawatir memikirkan kondisi dirinya sendiri. “Aku sedang takut bila aku melakukan kemungkaran, lalu tidak ada orang yang melarangku melakukannya karena segan dan rasa hormatnya kepadaku,” ujar Umar pelan. Sahabat Khudzaifah segera menjawab, “Demi Allah, jika aku melihatmu keluar dari kebenaran, aku pasti akan mencegahmu.” Seketika itu, wajah Umar bin Khattab berubah senang. “Alhamdulillah Yang menjadikan untukku sahabat-sahabat yang siap meluruskanku jika aku menyimpang,” katanya.
Seperti itulah Umar. Jika banyak orang gusar dan marah mendapat teguran atas kesalahan yang dilakukannya. Tapi ia justru menginginkan teguran. Khalifah kedua setelah Abu Bakar ra itu justru ingin kesalahannya diketahui orang lain, untuk kemudian ditegur dan diluruskan. Subhanallah....
Saudaraku,
Berterus terang kepada diri sendiri atas kesalahan yang dilakukan bukan hal mudah. Terlebih mengaku berterus terang kepada orang lain dan menerima kesalahan yang dilakukan. Lebih sulit lagi, menerima teguran orang lain atas kesalahan. Tapi sebenarnya, teguran atas kesalahan itu kita perlukan. Al-Qur ’an memberi banyak ilustrasi tentang ajakan bermuhasabah, mengevaluasi diri dan teguran langsung atas kesalahan. Metode muhasabah dan teguran yang ada dalam ayat-ayat Al Qur ’an, mengajak kita mau mengakui semua perbuatan dengan jujur dan tulus. Agar kita terbiasa berterus terang mengungkap berbagai kesalahan kepada diri sendiri. Memeriksa noda-noda kesalahan dan kekeliruan yang ada lalu mengakuinya. Bukan untuk membesar-besarkan kesalahan dan membuat diri menjadi gelisah, tetapi agar kita mengetahui kadar kebaikan dan keburukannya. Inilah makna yang dimaksud dalam perkataan Said bin Jubair saat ia ditanya, “Siapakah orang yang paling hebat ibadahnya?” Ia menjawab, “Orang yang merasa terluka karena dosa dan jika ia ingat dosanya ia memandang kecil amal perbuatannya.” (Az Zuhdu, Imam Ahmad, 387)
Saudaraku,
Perhatikanlah bagaimana para sahabat radhiallahu anhum dalam Perang Uhud mendapat teguran langsung dari Allah swt, saat mereka terluka dan mengalami situasi tertekan dan sulit.Ketika itu turun firman
Allah swt, “Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kalian pada hari bertemu dua pasukan itu, mereka digelincirkan oleh setan karena sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau). Dan sesungguhnya Allah telah mengampuni mereka...” (QS.Ali Imran 155). Lihatlah juga di saat bagaimana Allah swt menegur langsung mereka dalam firman-Nya surat Ali Imran ayat 165. “...Kalian berkata: “Dari mana datangnya kekalahan ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Perhatikanlah bagaimana
Allah swt menegur para sahabat dalam peperangan Hunain.“...Dan (ingatlah) peperangan Hunain, di waktu kalian menjadi sombong karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikit pun...” (QS.At Taubah :25)
Maksud teguran langsung tersebut adalah membangkitkan suasana muhasabah, mengangkat kejujuran dan keterbukaan yang bisa menjadikan seseorang mampu mengambil pelajaran dari kekeliruan dan kesalahannya. Musharahah atau keterusterangan untuk mengakui kesalahan adalah langkah paling awal untuk memulai perbaikan.
Saudaraku,
Teguran itu pahit. Tapi cobalah lebih jauh merenungi, pentingnya teguran atas kesalahan. Ustadz Abdul Hamid Al Bilali, dalam Waahaat Al Iiman, menguraikan banyak hal tentang akibat dosa dan kesalahan yang terus menerus dilakukan karena tidak mendapat teguran. Menurutnya, akibat kesalahan yang dilakukan terus menerus adalah sikap tidak merasa berdosa dan tidak merasa bersalah. Perasaan tidak bersalah dan tidak berdosa itu sendiri, bisa disebabkan kondisi akrab dengan dosa tertentu yang terlalu sering dikerjakan. Situasi seperti inilah yang paling ditakutkan Al Hasan Az Zayyat rahimahullah. Ia mengatakan, “Demi Allah, aku tidak peduli dengan banyaknya kemungkaran dan dosa. Yang paling aku takutkan ialah keakraban hati dengan kemungkaran dan dosa. Sebab jika sesuatu dikerjakan dengan rutin, maka jiwa menjadi akrab dengannya dan jika demikian, jiwa menjadi tidak memiliki kepekaan lagi.” (Tanbiihu Al Ghafiliin,93) Bagi Al Hasan, kesalahan dan dosa itu masih bisa dianggap kewajaran lantaran manusia memang pasti melakukan salah dan dosa. Yang ia khawatirkan justru ketika kesalahan dan dosa itu tidak dapat dihentikan, dilakukan terus menerus, lalu jiwa menjadi tidak sensitif terhadap kesalahan dan dosa itu. Juga, ketika dosa dan kesalahan tak terhenti karena tak mau menerima teguran yang bisa menyadarkan. Dan, ketika dosa dan kesalahan terlalu sering dilakukan karena tak ada nasihat serta teguran yang bisa menghentak diri dari kelalaian. Ada lagi akibat dosa yang lebih berbahaya dari kondisi itu. Yakni perasaan aman dan tidak mendapatkan hukuman dari berbagai dosa yang dilakukan. Artinya, seseorang bukan saja tidak menyadari dosa yang dilakukan, tapi lebih dari itu, merasa tenteram dan aman dari hukuman yang Allah swt berikan.
Saudaraku,
Camkanlah nasihat yang dituturkan Imam Ibnul Jauzi dalam Shaidul Khatir, “Ketahuilah, ujian paling besar bagi seseorang adalah merasa aman dan tidak mendapatkan siksa setelah mengerjakan dosa. Bisa jadi hukuman datang belakangan. Dan hukuman paling berat adalah jika seseorang tidak merasakan hukuman itu. Sampai hukuman itu menghilangkan agama, mencampakkan hati hingga tak bisa menentukan pilihan yang baik. Dan, di antara efek hukuman ini adalah seseorang tetap melakukan dosa sedangkan tubuh segar bugar dan seluruh keinginannya tercapai.” (Shaidul Khatir, 169)
Renungkanlah, kalimat terakhir dari nasihat Ibnul Jauzi ini..._ Readmore »»
Sunday, May 23, 2010
Aku Ingin Memberi Kabar Gembira untuk keluargaku
0Saudaraku,
Setiap orang pasti punya harapan. Pasti memiliki keinginan. Tapi harapan dan keinginan setiap orang, mungkin saja berbeda. Perbedaan itu terkait dengan banyak hal. Bisa karena lingkungan tempat orang itu berada, bisa tergantung pada pola pikir yang terbentuk dalam dirinya, juga bisa karena pengaruh orang-orang yang ada di sekitarnya.
Maka, bila kita ingin menjawab pertanyaan, “Apa yang menjadi cita-cita terbesar kita dalam hidup ini?”, Jawabannya terkait dengan tiga faktor tadi; lingkungan, pola pikir dan orang-orang sekitar kita. Orang yang secara ekonomi merasa begitu menderita, umumnya bercita-cita ingin menjadi kaya, memiliki rumah besar dan kendaraan. Orang yang sedang sakit dan lama terbaring di atas kasur, umumnya berharap agar penyakitnya sembuh dan ia bisa bebas bergerak lagi, lalu bisa menikmati makanan enak dan tidur nyenyak. Andai kita mengajukan pertanyaan yang sama kepada orang yang hartanya berkecukupan, biasanya ia berharap agar hartanya terus bertambah sampai menjadi orang paling kaya. Meski pada kenyataannya, harapan duniawi itu tak akan pernah membuat orang kenyang dan selalu menjadikan manusia bertambah dahaga.
Saudaraku,
Setiap orang, pasti sangat ingin cita-cita dan harapannya menjadi nyata. Tapi, ada sebagian orang yang sudah tidak mungkin lagi berharap keinginan mereka itu terwujud. Mereka tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berusaha, berbuat, melakukan sebab apapun untuk bisa mencapai harapan dan cita-citanya. Siapakah mereka? Kenapa mereka tak mungkin lagi berupaya menggapai keinginannya? Lalu, mungkinkah kita bisa membantu mereka mewujudkan harapan mereka?
Saudaraku,
Mereka orang-orang yang sudah pergi meninggal dunia. Mereka, orang-orang yang telah wafat dan dikembalikan ruhnya kepada Allah swt.. ..Laa haula walaa quwwata illaa billaah... Tidak ada daya dan kekuatan kecuali Allah...
Mari kita membicarakan kelompok yang sering dilupakan ini. Agar kita mengetahui bagaimana sebenarnya, keinginan orang-orang yang telah ditentukan tempat akhirnya di surga atau neraka. Mereka orang-orang yang telah menyaksikan para Malaikat, yang telah melihat langsung hal-hal yang semula ghaib, yang sudah meyakini hakikat dunia dan hakikat akhirat, yang merasakan detik demi detik penantian sebelum mereka dibangkitkan. Apa saja daftar harapan dan keinginan mereka?
Saudaraku,
Di antara mereka, ada para shalihiin. Orang-orang yang telah mengisi waktu hidupnya dengan amal-amal shalih. Saat ruhnya dipanggil oleh Allah swt, ia sangat berharap untuk segera dan mempercepat perjalanannya menuju liang kubur. Ia ingin sekali segera menjumpai tempat pemakamannya yang lapangdan menenangkan. Perhatikanlah saudaraku, bagaimana hadits yang disampaikan dari Abi Sa’id Al Khudri radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ketika jenazah diletakkan dan dibawa di atas punggung orang-orang yang memikulnya. Jika ia merupakan jenazah orang shalih, ia akan berkata, “Percepatlah.. percepatlah.. Tapi jika jenazah itu bukan dari golongan orang shalih, ia berkata, “Aduh, kemana mereka akan bawa jenazah ini?” Semua mendengar perkataan itu kecuali manusia. Andai manusia mendengarnya, niscaya ia bisa jatuh pingsan.” (HR.Bukhari).
Saudaraku,
Seperti itu sepintas harapan yang keluar dari orang-orang mati. Dan peristiwanya memang belum berakhir. Harapan-harapan mereka masih terus terungkap. Bagi orang-orang shalih, saat pertama kali dimasukkan ke dalam liang kubur, itu adalah saat pertama memperoleh kabar gembira tentang surga. Ia bahkan telah dikaruniai Allah untuk melihat kedudukannya di surga. Maka, ia sama sekali tak ingin kembali ke dunia. Ia justru berharap agar hari kebangkitan segera datang dan ia bisa merasakan langsung kenikmatan yang ditunggu-tunggu itu.
Inilah yang disabdakan Rasulullah saw, bahwa ketika seorang mukmin menjawab pertanyaan dua Malaikat di dalam kuburnya, terdengarlah seruan dari langit “Jika hamba-Ku benar, selimutilah ia dengan selimut dari surga, beri pakaian untuknya dengan pakaian dari surga, bukakan di hadapannya pintu menuju surga. Lalu ia bisa mencium wangi dan harumnya surga. Kuburnya akan dijadikan luas sepanjang ia memandang. Ia lalu didatangi seorang yang berwajah tampan, berpakaian bagus dan harum. Orang itu berkata, “Berbahagialah dengan sesuatu yang akan memudahkanmu .Ini adalah harimu yang telah dijanjikan. ” Si mayit berkata,, “Siapa kamu? Wajahmu adalah wajah yang mendatangkan kebaikan.” Orang itu mengatakan,, “Aku adalah amal shalihmu.” Ketika itulah, si mayit berkata, “Ya Rabb..percepatlah hari kiamat. Ya Rabb...percepatlah hari kiamat .Agar aku bisa bertemu dengan keluarga dan hartaku...” (HR.Abu Daud).
Saudaraku,
Bukan hanya itu kebahagiaan mereka. Seorang shalih, bahkan sangat ingin kembali ke dunia dan memberitahukan keluarganya yang masih hidup. Perhatikanlah saudaraku, Bagaimana keinginan itu digambarkan dalam hadits Rasulullah saw. “Jika seorang Mukmin melihat keluasan yang diberikan Allah untuknya di dalam kuburnya, ia mengatakan, “Biarkan aku pergi untuk memberitakan kabar gembira kepada keluargaku.” Lalu dikatakanlah kepadanya : “Tenanglah...” (HR.Ahmad)
Saudaraku,
Rasakanlah getar suka cita dan kebahagiaan yang menyergap perasaan orang-orang shalih itu, saat pertama mereka berada di alam kubur. Mereka, sangat ingin diberi kesempatan bertemu dengan keluarga yang ditinggalkan untuk menyampaikan kebahagiaan yang mereka rasakan. Mereka, merindukan keluarga yang ditinggalkannya agar mengetahui keadaan mereka saat itu. Mereka ingin keluarga yang telah menemaninya hidup dalam keshalihan, turut berbahagia dengan keadaanyang dialaminya.
Saudaraku,
Akankah kita akan merasakan kebahagiaan seperti mereka?_ Readmore »»
Tuesday, May 11, 2010
Dengarkanlah Al-Qur’an darinya….
0Saudaraku,
Suatu saat, mungkin rongga-rongga hati kita terasa sesak oleh gelombang kehidupan. Barangkali, jiwa kita merasakan bosan pada gersangnya keadaan dan kita didera suasana yang memunculkan kesedihan. Maka, mulailah membuka jalan menuju kebahagiaan dengan kalamullah, Al-Qur’an.
Mari perhatikan potongan kata demi kata dalam munajat yang diucapkan Rasulullah saw, “…. Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang jadi milik-Mu yang Engkau namakan dengan diri-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau simpan dalam perbendaharaan ghaib di sisi Mu…”
Apa yang Rasulullah minta setelah menguraikan redaksi begitu detail dan dalam tentang kesempurnaan Allah melalui nama dan sifat-Nya yang mulia itu? Rasulullah berdo’a, “… jadikanlah Al-Qur’an yang mulia kesuburan hatiku dan cahaya dadaku serta menjadi tempat melepaskan segala kesukaranku dan menghilangkan dukacitaku…”
Saudaraku,
Renungkanlah do’a itu. Lukiskanlah dalam benak hati kita, bagaimana Rasulullah saw memiliki perasaan yang amat kuat dengan Al-Qur’an terkait dengan kondisi jiwanya. Dalam do’a itu, Rasulullah meminta agar Al-Qur’an menjadi saluran kasih sayang Allah yang berwujud cahaya dalam jiwa, pelipur lar, pengusir kesedihan, dan penyembuh semua ketidaknyamanan yang bersarang dalam hati. Sangat indah sekali, ketika di akhir haditds riwayat Ahmad tersebut Rasul mengatakan, “Tidaklah seorang hamba membaca do’a tersebut melainkan akan Allah hilangkan rasa sedihnya, dan akan menggantikannya dengan kegembiraan.”
Subhanallah… Alhamdulillah… atas segala rahmat dan kasih sayang Allah…
Saudaraku,
Al-Qur’an mampu memberi pengaruh besar dalam jiwa. Pernahkah kita mendengar bagaimana reaksi orang-orang kafir dahulu saat mendengar ayat-ayat Al-Qur’an? Seorang pemuka Quraisy bernama Abdul Walid pernah mendatangi Rasulullah saw untuk menentangnya. Setelah ia puas mencaci maki, Rasulullah saw balik bertanya, “Sudah selesaikah wahai Abdul Walid? Sekarang dengarkanlah dariku,” kata Rasulullah saw dilanjutkan dengan bacaan surat Fushilat ayat 1 hingga 13. Abdul Walid tiba-tiba meletakkan tangannya di mulut Rasulullah, tanda agar Rasulullah tidak menyempurnakan bacaannya. Ia lalu kembali ke kaumnya dengan kondisi yang berbeda dibandingkan saat ia pergi menemui Rasulullah. Dan ia menyatakan beriman kepada seruan Rasulullah saw.
Mereka begitu tersentuh dan terguncang jiwanya saat mendengar ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka mengatakan Al-Qur’an seperti sihir yang menguasai hati dan jiwa bila didengarkan. Karena khawatir terpengaruh, di antara orang-orang kafir itu bahkan memerintahkan teman-temannya untuk memunculkan kegaduhan bila terdengar bacaan Al-Qur’an. “Dan berkatalah orang-orang kafir, janganlah kalian mendengarkan AlQur’an dan munculkanlah hiruk pikuk (saat pembacaannya), supaya kamu dapat mengalahkan (mereka).” (QS. Fushilat: 12). Seperti itulah sikap orang-orang kafir karena pengaruh yang dimunculkan oleh Al Qur’an dalam jiwa mereka.
Saudaraku,
Ternyata mendengarkan Al Qur’an begitu luar biasa pengaruhnya dalam jiwa. Mendengarkan pembacaan ayat-ayat Al Qur’an begitu merasuk kedalam hati. Kita menjadi lebih mengerti, mengapa Rasulullah saw pun suka bila dibacakan di hadapannya ayat-ayat Al Qur’an, meskipun ayat-ayat itu turun kepada dirinya. Seperti permintaannya kepada Ibnu Mas’ud agar dibacakan Al Qur’an, lalu Rasulullah berucap, “cukup…cukup…”, saat Ibnu Mas’ud rahimahullah sampai pada ayat 14 surat An Nisa. Dan mata Rasullah terlihat berlinang air mata.
Ibnu Bathal menguraikan penjelasannya dari hadits ini, seperti dikutip dalam Fath Al Bari, “Mungkin Rasulullah lebih suka diperdengarkan Al Qur’an dari orang lain, untuk lebih dapat dirasakan. Atau agar ia lebih dalam mentadabburi dan memahami isinya. Orang yang mendengarkan Al Qur’an biasanya lebih kuat tadabburnya. Jiwanya lebih serius mengikuti bacaan ketimbang orang yang membacanya, karena disibukkan dengan membaca dan hukum-hukum bacaan.”
Saudaraku,
Pengaruh mendengarkan bacaan Al Quran tidak hanya mempengaruhi jiwa dan hati manusia. Karena bacaan Al Qur’an juga sangat mempengaruhi jin. Perhatikan baik-baik apa yang disampaikan Al Qur’an tentang hal ini. “Dan (ingatlah) ketika kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Qur’an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata, ‘Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)’. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.” (QS. Al Ahqaf: 29)
Saudaraku, semoga Al Qur’an menjadi cahaya dalam hati kita,
Jika kita ingin mendapatkan keterangan, dengarkanlah bacaan ayat-ayat Al Qur’an. Mintalah seorang saudara untuk membacakan ayat-ayat Al Qur’an. Rasul saw memberi nasehat pendek tentang siapa orang yang bisa memberi pengaruh pada jiwa saat ia membaca Al Qur’an. Suatu ketika ia ditanya, “Siapakah manusia yang paling baik suaranya membaca Al Qur’an dan paling baik bacaannya?” Rasul menjawab, “Yaitu orang yang jika engkau mendengarkannya, engkau lihat dirinya takut kepada Allah swt.” (HR. Muslim)
Saudaraku,
Jika kita mendapatkan seseorang yang takut kepada Allah, mintalah dirinya untuk membacakan ayat-ayat Al Qur’an untuk kita. Duduklah dihadapannya, konsentrasilah dan renungkah bacaannya. Sesungguhnya, mendengarkan Al Qur’an bisa menjadi saluran energi yang mencerahkan jiwa kita. Itulah salah satu bentuk rahmat Allah swt dari mendengarkan Al Qur’an. Sebagaimana firman-Nya, “Apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. Al A’raf:204)
Dengarkanlah bacaan Al Qur’an dari lisannya. Lalu rasakanlah bagaimana suasana jiwa kita setelah mendengarkannya.
Tarbawi
Readmore »»
Seberapa Besar Hati Kita Mengagungkan Allah?
0Saudaraku,
Mungkinkah orang yang banyak berdosa, menyisakan hati yang mengakui keagungan Allah swt? Banyak orang mengira jawabannya, tidak. Mereka mengatakan, hanya orang shaleh yang mampu memiliki hati yang menyimpan kebesaran dan keagungan Allah swt. Sementara pelaku dosa dan yang bergelimang kemaksiatan, mereka termasuk kelompok orang yang tidak mendapat rahmat Allah, dan ini artinya tidak ada pengakuan dalam hati mereka terhadap kebesaran dan keagungan Allah swt.
Saudaraku yang dikasihi Allah,
Dosa dan maksiat memang pasti memberi dampak pada orang yang melakukannya. Begitu pun ketaatan yang pasti memberi pengaruh pada orang yang melakukannya. “Kebaikan itu menyinari wajah, memberi cahaya dalam hati,membuka keluasan rejeki, memberi kekuatan tubuh, menambah cinta di hati makhluk. Sedangkan keburukan dan dosa itu, memberi kelam di wajah, kegelapan di dalam kubur dan di dalam hati,melemahkan tubuh, menyempitkan rejeki dan memunculkan kebencian di hati makhluk.” Demikian ungkapan Ibnu Abbas radhiallahu anhu.
Saudaraku,
Tapi Islam tetap selalu ingin memberi semangat pada orang yang sudah berdosa agar tidak pernah putus harapan dari rahmat Allah. Dosa dan kemaksiatan sebenarnya tidak menghalangi seseorang untuk tetap memiliki hati yang mengakui kebesaran dan keagungan Allah swt. Mungkin, kita menapakkan kaki di tempat yang tidak sesuai dengan keridhaan Allah swt. Tapi hati kita tetap memendam pengakuan tulus akan keagungan Allah swt. Ini artinya, Allah swt meniupkan kebaikan dalam hati, meski secara lahir kita belum sesuai dengan situasi hati kita. Itulah sebabnya para ulama membagi dua kategori kemaksiatan, yakni kemaksiatan anggota tubuh yang disebut dzunuub al jawaarih, dan kemaksiatan hati yang disebut dzunuub al qalb. Meski tidak dipungkiri juga ada keterkaitan antara keduanya, dan yang paling membahayakan adalah kemaksiatan hati ketimbang kemaksiatan anggota tubuh.
Saudaraku,
Keadaan hati yang tetap mengagungkan Allah swt, adalah kondisi yang membersihkan seseorang untuk kembali dari ragam penyimpangan. Hati seperti inilah yang tetap menyuarakan keagungan dan ke Maha Besaran Allah swt sehingga menolong pemiliknya dari kondisi larut dalam kesalahan. Seperti ungkapan sebagian orang shalih, “Barangsiapa yang di dalam hatinya tetap mengagungkan Allah swt, maka Allah swt akan menolongnya agar jasadnya juga mengagungkan Allah swt.”
Lihatlah peristiwa yang dialami seorang shalih bernama Basyar Al Hafi, tokoh ulama yang terkenal zuhud dan wara ’ Abu Na ’im dalam Hilyatu Al Auliya, menguraikan Basyar Al Hafi yang mengatakan, “Aku dahulu seorang yang tersesat dan tidak tahu arah. Suatu hari aku melihat sebuah kertas di atas jalan. Aku mengambil kertas itu dan kulihat di dalamnya tertera kalimat “Bismillahir Rahmaanir Rahiim ”. Aku bersihkan kertas itu dan aku masukkan ke dalam kantong. Saat itu aku hanya mempunyai uang dua dirham, tapi uang itu kuhabiskan untuk membeli minyak wangi. Minyak wangi itu aku usap pada kertas yang kusimpan di dalam kantong. Malam harinya, aku bermimpi seseorang mengatakan padaku, “Wahai Basyar, engkau angkat Nama Kami dari jalanan. Engkau membuatnya harum. Maka Aku akan mengharumkan namamu di dunia dan di akhirat.”
Renungkanlah saudaraku, bagaimana pengagungan Allah swt yang ada di dalam hati Basyar Al Hafi.
Saudaraku,
Ada pula kisah pelaku dosa yang tiba-tiba jiwanya tersungkur merasakan keagungan Allah swt. Lihatlah perubahan besar yang dilakukan seorang bernama Fudhail bin Iyadh, yang kemudian menjadi salah satu ulama besar Islam di jamannya. Dahulunya, Fudhail adalah seorang perampok yang sangat ditakuti karena kekejamannya. Suatu ketika, ia merampok sebuah rumah sebelum waktu subuh. Saat menaiki tembok rumah, ia melihat seorang kakek tua membaca Al-Qur ’an. Saat itu, mungkin saja Fudhail tetap melanjutkan aksinya untuk merampok, tapi bacaan Al-Qur ’an orang tua itu begitu membuat jiwanya guncang. Secara lahir, Fudhail sudah melakukan kejahatan. Tapi kali ini, kejahatan fisiknya tidak mendominasi keburukan hatinya. Maka, ketika orang tua itu membacaan firman Allah swt, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)...” ((QS.Al Hadid :16). Fudhail memandang ke langit, seraya mengatakan, “Ya Rabb, aku bertaubat kepadamu malam ini.” Saat itu juga ia turun,, lalu mandi dan pergi ke masjid menangis dalam taubatnya. Seperti itulah, bahwa ada banyak perilaku maksiat yang tidak membatasi kondisi hati yang tetap mengagungkan Allah.
Saudaraku,
Karenanya, nilai seseorang tidak serta merta jatuh karena ia melakukan dosa dan maksiat. Bahkan ketika seorang pezina dirajam lalu mendapat cacian dan penghinaan dari sejumlah sahabat, Rasulullah saw bersabda, “Jangan lakukan itu, dia telah bertaubat dengan taubat yang bila ditimbang dengan 70 orang penduduk Madinah niscaya taubatnya meliputi mereka semua.” Dalam riwayat lain,, “Sesungguhnya taubatnya jika ditimbang dengan seluruh penduduk Madinah, niscaya akan meliputi mereka semua.” Artinya, pezina itu pun ternyata memiliki hati yang tetap mengagungkan Allah swt. Kondisi hati seperti itulah yang membuatnya rela mendapat hukuman sesuai kehendak Allah swt dan Rasulullah saw.
Sekarang,mari bertanya pada diri sendiri, seberapa besar keagungan Allah swt dalam hati kita?
Tarbawi Readmore »»
Monday, May 10, 2010
Biar Kuncupnya Mekar Menjadi Bunga
0Betapa penting peranan kata itu dalam mengekspresikan kata cinta. Tapi itu bukan satu-satunya bentuk ekspresi cinta. Cinta merupakan sebentuk emosi manusiawi. Karena itu ia bersifat fluktuatif, naik turun mengikuti semua anasir di dalam dan di luar di diri manusia yang mempengaruhinya.
Mempertahankan dan merawat rasa cinta sesungguhnya jauh lebih sulit dari sekedar menumbuhkannya. Begitu pentingkah? Ah, mungkin secara harfiah tidak sejauh itu. Tapi ini adalah masalah manusia yang paling dalam.
Walaupun begitu, saya juga tidak merasakan adanya urgensi untuk menjawab pertanyaan ini: apa itu cinta? Itu terlalu filosofis. Saya lebih suka menjawab pertanyaan ini: bagaimana seharusnya Anda mencintai? Pertanyaan ini melekat erat dalam kehidupan individu kita.
Cinta itu bunga: bunga yang tumbuh mekar dalam taman hati kita. Taman itu adalah kebenaran. Apa yang dengan kuat menumbuhkan, mengembangkan, dan memekarkan bunga-bunga adalah: air dan matahari. Air dan matahari adalah kebaikan. Air memberinya kesejukan dan ketenangan, tapi matahari memberinya gelora kehidupan. Cinta, dengan begitu, merupakan dinamika yang bergulir secara sadar di atas latar wadah perasaan kita.
Maka begitulah seharusnya Anda mencintai: menyejukkan, menenangkan, namun juga menggelorakan. Dan semua makna itu terangkum dalam kata ini: menghidupkan. Anda mungkin dekat dengan peristiwa ini: bagaimana istri Anda melahirkan seorang bayi, lalu merawatnya, dan menumbuhkannya, mengembangkannya serta menjaganya. Ia dengan tulus berusaha memberinya kehidupan.
Bila Anda ingin mencintai dengan kuat, maka Anda harus mampu memperhatikan dengan baik, menerimanya apa adanya dengan tulus, lalu berusaha mengembangkannya semaksimal mungkin, kemudian merawat dan menjaganya dengan sabar. Itulah rangkaian kerja besar para pecinta: pengenalan, penerimaan, pengembangan dan perawatan.
Apakah Anda telah mengenal istri Anda dengan seksama?
Apakah Anda mengetahui dengan baik titik kekuatan dan kelemahannya?
Apakah Anda mengenal kecenderungan-kecenderungannya?
Apakah Anda mengenal pola-pola ungkapannya: melalui pemaknaan khusus dalam penggunaan kata, melalui gerak motorik refleksnya, melalui isyarat rona wajahnya, melalui tatapannya, melalui sudut matanya?
Apakah Anda dapat merasakan getaran jiwanya, saat ia suka dan saat ia benci, saat ia takut dan begitu membutuhkan perlindungan?
Apakah Anda dapat melihat gelombang-gelombang mimpi-mimpinya, harapan-harapannya?
Sekarang perhatikanlah bagaimana tingkat pengenalan Rasulullah saw terhadap istrinya, Aisyah. Suatu waktu beliau berkata, "Wahai Aisyah, aku tahu kapan saatnya kamu ridha dan kapan saatnya kamu marah padaku. Jika kamu ridha, maka kamu akan memanggilku dengan sebutan: Ya Rasulullah! tapi jika kamu marah padaku, kamu akan memanggilku dengan sebutan: Ya Muhammad!"
Apakah beda antara Rasulullah dan Muhammad kalau toh obyeknya itu-itu juga?
Tapi Aisyah telah memberikan pemaknaan khusus ketika ia menggunakan kata yang satu pada situasi jiwa tertentu, dan kata yang lain pada situasi jiwa yang lain.
Pengenalan yang baik harus disertai penerimaan yang utuh. Anda harus mampu menerimanya apa adanya. Apa yang sering menghambat dalam proses penerimaan total itu adalah pengenalan yang tidak utuh atau obsesi yang berlebihan terhadap fisik. Anda tidak akan pernah dapat mencintai seseorang secara kuat dan dalam kecuali jika Anda dapat menerima apa adanya.
Dan ini tidak selalu berarti bahwa Anda menyukai kekurangan dan kelemahannya. Ini lebih berarti bahwa kelemahan dan kekurangan bukanlah kondisi akhir kepribadiannya, dan selalu ada peluang untuk berubah dan berkembang. Dengan perasaan itulah seorang ibu melihat bayinya. Apakah yang ia harap dari bayi kecil itu? Ketika ia merawatnya, menjaganya, dan menumbuhkannya, apakah ia yakin bahwa kelak anak itu akan membalas kebaikannya? Tidak.
Semua yang ada dalam jiwanya adalah keyakinan bahwa bayi ini punya peluang untuk berubah dan berkembang, dan karenanya ia menyimpan harapan besar dalam hatinya bahwa kelak hari-hari jugalah yang akan menjadikan segalanya lebih baik.
Penerimaan positif itulah yang mengantar kita pada kerja mencintai selanjutnya: pengembangan. Pada mulanya seorang wanita adalah kuncup yang tertutup. Ketika ia memasuki rumah Anda, memasuki wilayah kekuasaan Anda, menjadi istri Anda, menjadi ibu anak-anak Anda: Andalah yang bertugas membuka kelopak kuncup itu, meniupnya perlahan, agar ia mekar jadi bunga.
Andalah yang harus menyirami bunga itu dengan air kebaikan, membuka semua pintu hati Anda baginya, agar ia dapat menikmati cahaya matahari yang akan memberinya gelora kehidupan. Hanya dengan kebaikanlah bunga-bunga cinta bersemi, dan ungkapan 'Aku Cinta Kamu' boleh jadi akan kehilangan makna ketika ia dikelilingi perlakuan yang tidak simpatik dan tidak mengembangkan.
Apa yang harus Anda berikan kepada istri Anda adalah peluang untuk berkembang, keberanian menyaksikan perkembangannya tanpa harus merasa bahwa superioritas Anda terganggu. Ini tidak berarti Anda harus memberi semua yang ia senangi, tapi berikanlah apa yang ia butuhkan.
Tetapi setiap perkembangan harus tetap berjalan dalam keseimbangan. Dan inilah fungsi perawatan dari rasa cinta. Tidak boleh ada perkembangan yang mengganggu posisi dan komunikasi. Itulah sebabnya terkadang Anda perlu memotong sejumlah ranting yang sudah kepanjangan agar tetap terlihat serasi dan harmoni.
Hidup adalah simponi yang kita mainkan dengan indah. Maka, duduklah sejenak bersama dengan istri Anda, tatap matanya lamat-lamat, dengarkan suara batinnya, getaran nuraninya, dan diam-diam bertanyalah pada diri sendiri: apakah ia telah menjadi lebih baik sejak hidup bersama dengan Anda? Mungkinkah suatu saat ia akan mengucapkan puisi Iqbal tentang gurunya:
....Dan nafas cintanya meniup kuncupku
Maka ia mekar jadi bunga...
oleh M Anis Matta Readmore »»
Iman itu Cerita Keajaiban
0Iman adalah sumber energi jiwa yang senantiasa memberikan kita kekuatan untuk bergerak menyemai kebaikan, kebenaran dan keindahan dalam zaman kehidupan, atau bergerak mencegah kejahatan, kebatilan dan kerusakan di permukaan bumi. Iman adalah gelora yang memberi inspirasi kepada pikiran-pikiran kita, maka lahirlah bashirah. Iman adalah cahaya yang menerangi dan melapangkan jiwa kita, maka lahirlah taqwa. Iman adalah bekal yang menjalar di seluruh bagian tubuh kita, maka lahirlah harakah (gerakan). Iman menenteramkan perasaan, menguatkan tekad dan menggerakkan raga kita.
Iman merubah individu menjadi baik, dan kebaikan individu menjalar dalam kehidupan masyarakat, maka masyarakat menjadi erat dan dekat. Yang kaya diantara mereka menjadi dermawan, yang miskin menjadi iffah (menjaga kehormatan dan harga diri), yang berkuasa menjadi adil, yang ulama menjadi taqwa, yang kuat menjadi penyayang, yang pintar menjadi rendah hati, yang bodoh menjadi pembelajar. Ibadah mereka menjadi sumber kesalehan dan kedamaian, ilmu pengetahuan menjadi sumber kekuatan dan kemudahan, kesenian menjadi sumber inspirasi dan semangat kehidupan.
Jika Anda bertanya, mengapa Bilal dapat bertahan di bawah tekanan batu karang raksasa dengan terik matahari padang pasir yang membakar tubuh? Mengapa ia membunuh majikannya dalam perang Badar? Mengapa ia yang tadinya hanyalah seorang budak bisa berubah menjadi pembesar Islam? Lalu, mengapa Abu Bakar yang lembut menjadi sangat keras dan tegar saat perang Riddah? Mengapa Umar bin Khattab yang terhormat mau dengan sukarela membawa gandum ke rumah seorang perempuan miskin di tengah malam. Mengapa Khalid bin Walid lebih menyukai malam-malam dingin dalam jihad fi sabilillah daripada seorang perempuan cantik di malam pengantin? Mengapa Ali bin Abu Thalib mau memakai selimut Rasulullah saw dan tidur di kasur beliau saat dikepung menjelang hijrah, atau hadir dalam pengadilan saat beliau menjadi khalifah untuk diperkarakan dengan seorang warganya yang Yahudi? Mengapa pula Utsman bin Affan bersedia menginfakkan seluruh hartanya, bahkan membiayai sebuah peperangan di masa Rasulullah saw seorang diri? Jawaban semua pertanyaan itu ada di sini: iman!
Sejarah Islam sepanjang lima belas abad ini mencatat, kaum muslimin meraih kemenangan-kemenangan dalam berbagai peperangan, menciptakan kemakmuran dan keadilan, mengembangkan berbagai macam ilmu pengetahuan dalam peradaban… Apa yang membuat mereka mencapai semua itu? Itulah saat di mana iman mewarnai seluruh aspek kepribadian setiap individu muslim, dan mewarnai seluruh sektor kehidupan.
Tapi sejarah juga menorehkan luka. Pasukan Tartar membantai 80.000 orang kaum muslimin di Baghdad, pasukan Salib menguasai Al-Quds selama 90 tahun, surga Andalusia hilang dari genggaman kaum muslimin dan direbut kembali oleh kaum Salib, Khilafah Utsmaniyah di Turki dihancurkan gerakan Zionisme internasional …. Apa penyebab kehancuran ini? Itulah saat di mana iman hanya menjadi ucapan lisan dan tidak mempunyai hakikat dalam jiwa dan pikiran, tidak memberi vitalitas dan dinamika dalam kehidupan, lalu tenggelam dalam lumpur syahwat.
Karena itulah penguasa mereka menjadi zalim, orang kaya menjadi pelit, orang miskin menjadi pengkhianat, dan tentara mereka tidak punya nyali! Abul Hasan Ali Al-Hasani Al-Nadwi mengatakan: saat kejayaan adalah saat iman, dan saat keruntuhan adalah saat hilangnya iman. Sebagaimana iman menciptakan keajaiban di alam jiwa, seperti itu juga ia menulis cerita keajaiban di alam kenyataan. Gelora dalam jiwa pun menjelma menjadi prestasi-prestasi sejarah.
Allah swt berfirman:”Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali sekali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. “(QS Al-An’am: 122)
Sekarang, ketika kita berbicara tentang proyek kebangkitan Islam, kita bertemu lagi dengan aksioma ini; saat kejayaan adalah saat iman.
Iman Syahid Hasan Al-Banna mengatakan:”Orang-orang yang bekerja atau mengajak untuk membangun umat, mendidik bangsa, memperjuangkan dan mewujudkan misi dan nilai-nilai dalam kehidupan, haruslah mempunyai kekuatan jiwa yang dahsyat yang mengejawantah dalam beberapa hal:
- Tekad baja yang tak tersentuh oleh kelemahan
- Kesetiaan abadi yang tak terjamah oleh penyimpangan dan pengkhianatan
- Pengorbanan mahal yang tak terhalang oleh keserakahan atau kebakhilan
- Pengetahuan, keyakinan dan penghargaan terhadap konsep perjuangan yang dapat menghindarkan dari kesalahan, penyimpangan, tawar menawar atau tertipu dengan konsep yang lain
Keempat hal tersebut sesungguhnya merupakan pekerjaan pekerjaan khusus jiwa. Hanya di atas pilar-pilar dasar itu, dan hanya di atas kekuatan spiritual yang dahsyat itu sajalah umat yang sedang bangkit terdidik dan bangsa yang kokoh terbentuk. Siklus kehidupan akan terbarui kembali bagi mereka yang tak pernah memiliki kehidupan dalam waktu yang lama. Bangsa yang tidak memiliki keempat sifat ini, atau setidak-tidaknya tidak dimiliki oleh para pemimpin dan pembaharunya, adalah bangsa yang miskin dan tersia-siakan yang tak pernah meraih kebaikan atau mewujudkan cita-cita. Mereka hanya akan hidup dalam dunia mimpi-mimpi, bayang-bayang dan kesemuan.
“Sesungguhnya dugaan-dugaan itu sama sekali tidak berguna untuk (mendapatkan) kebenaran. ” (QS Yunus: 36). Inilah sunnah Allah bagi seluruh makhluk-Nya, dan tidak akan ada penggantinya. “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang merubah diri-diri mereka sendiri. ” (QS Al-Ra’d: 11).” (Majmu’atur Rosail, Hasan Al-Banna).
Demikianlah. Jelas sudah, apa yang dibutuhkan gerakan kebangkitan umat saat ini adalah mempertemukan umat dengan sumber energi spiritual mereka: iman! Itulah persoalan kita, bahwa ada banyak kabut yang menyelimuti pemahaman kita mengajarkan hakikat iman. Kesalahan atau kedangkalan dalam pemahaman tentang iman, disertai kesalahan dalam menyusun dan mengajarkannya, adalah sebab utama yang membuat iman kita tidak bekerja semestinya. Ia tidak memberi inspirasi pada pikiran, tidak menerangi jiwa, tidak melahirkan tekad dan tidak juga menggerakkan raga kita untuk bekerja menyamai kebenaran, kebaikan dan keindahan dalam taman hidup kita. Karenanya tidak ada keajaiban di alam jiwa, dan tidak akan terangkai keajaiban itu dalam sejarah kita.
Oleh
H.M. Anis Matta Readmore »»
Subscribe to:
Posts (Atom)