Thursday, October 14, 2010

Abu Nashr Al-Farabi

0


Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Auzalagh bin Thurkhan, anak dari seorang pembesar militer dari Persia. Dilahirkan di Farab, Kazakhstan. Tidak diketahui pasti kapan tahun kelahirannya , akan tetapi beliau meninggal dalam umur +/- 80 tahun pada Bulan Rajab tahun 339 H (December 950M).


Diriwayatkan bahwa Al-Farabi adalah seorang yang amat bersahaja semasa hidupnya, mencari sesuap nasi pagi hingga petang sebagai tukang kebun. Walaupun demikian kefakiran yang dideritanya, tapi tidak sedikitpun menghalanginya untuk terus bekerja dalam dunia falsafah. Pada siang hari ia menyingsingkan lengan baju sebagai tukang kebun dan di malam hari ia sibuk memegang pena dan memutar otak sebagai seorang filosof meskipun hanya diterangi lampu yang sangat redup. Ia memberi syarah (penjelasan) dan komentar mengenai falsafah Aristoteles dan Plato yang sulit dimengerti, serta membandingkan paham kedua filosof tersebut dengan ajaran Agama Islam.

Al-Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, justru sama-sama membawa kebenaran. Hal ini terbukti dengan karangannya yang berjudul Al-Jami’ Baina Ra’yani Al-Hakimain dengan maksud mempertemukan pikiran-pikiran plato dengan Aristoteles. Kendatipun begitu, Al-Farabi juga mempertemukan hasil-hasil pemikiran filsafat dengan wahyu dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batini) . Al-Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seorang wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai (Peripaterik) filosof-keilmuan. Tidak heran jika ia mendapat gelar Al-Mu’alim Ats-Tsani .

Al-Farabi juga memperdalam semua ilmu yang dimiliki oleh Al-Kindi. Al-kindi adalah seorang ilmuwan dan filosof muslim yang sangat disegani dan berjasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan sains modern. Malah dalam beberapa ilmu Al-Farabi melebihi Al-Kindi, terutama dalam ilmu mantik.

Selain itu Al-farabi menulis lagi beberapa kitab tentang berbagai macam ilmu yang belum pernah ditulis oleh orang lain sebelumnya, seperti kitab Ih Sa Ul Ulum yaitu kitab mengenai ilmu statistik, yang telah diterjemahkan dalam bahasa latin dan Hibrani. Masih ada peninggalan salah satu naskah dari kitab tersebut di El-Escorial dekat kota Madrid.

Potilik Ekonomi

Selain dari itu Al-Farabi lah yang pertama kali menulis tentang “Assiyasatul Madaniyah”, yakni yang dinamakan orang sebagai “politik ekonomi”, yang dianggap oleh orang –orang Eropa sekarang sebagai ilmu dan pendapat mereka yang Asli atau orisinil. Padahal seorang filsof muslim, 1000 tahun yang lalu, telah menguraikan dasar ilmu tersebut. Kemudian ilmu tersebut diuraikan kembali oleh seorang Filsof muslim pula, Ibnu Chaldun, dalam kitabnya yang masyhur “Muqaddamah”. Dari tangan Ibnu chaldun inilah kemudain ilmu ini sampai kepada Machiavelli, Hegel, Gibbon, dan lain-lainnya. Kitab Assiyasatul Madaniyah ini ada yang dicetak di Beirut pada tahun 1906.


Musik
Tidak sedikit pula jasa Al-Farabi dalam memajukan ilmu musik. Ia mengarang lagu, ia membuat Instrumen, ia menulis teori dan memperbaiki berbagai kesalahan teori ahli musik terdahulu, serta menyusun metode belajar yang lebih sempurna. Diterangkan olehnya sifat-sifat suara, bagaimana irama (ritma), dan harmoninya. Ditunjukkannya berbagai macam maat (tempo) serta penggunaan Mayor dan Minor dalam nada.

Saat tinggal di Istana Saif al-Dawla Al-Hamdani di Kota Aleppo, Al-Farabi mengembangkan kemampuan musik serta teori tentang musik. Al-Farabi juga diyakini sebagai penemu dua alat musik, yakni rabab dan qanun. Ia menulis tak kurang dari lima judul kitab tentang musik. Salah satu kitab yang ia tulis adalah Kitabu al-Musiqa to al-Kabir atau The Great Book of Music, yang disebut-sebut sebagai buku penting dalam bidang musik.

Pemikirannya di bidang musik masih berpengaruh hingga abad ke-16 M. Kitab musik yang ditulisnya itu sempat diterjemahkan oleh Ibnu Aqnin (1160 M-1226 M) ke dalam bahasa Ibrani. Selain itu, karyanya itu juga dialihbahasakan ke dalam bahasa Latin berjudul De Scientiis dan De Ortu Scientiarum.
Didalam teori musik Al-Farabi itu, Ia mencoba menggabungkan antara musik dengan teorema Pythagoras, sehingga menghasilkan hipotesis yang disebut “suara bintang”. Dengan jalan praktek Al-Farabi menentukan bagaimana pengaruhnya gelombang-gelombang suara (Geluidsgloven) atas tali-tali dari alat musik. Dengan metoda yang orisinil dan otodidak, beliau menemukan cara menyusun suara atau susunan tangga nada yang lebih berwana dan enak tuk didengar, yang belum diketahui oleh ahli-ahli musik pada masa itu.

Seni musik yang berkembang begitu pesat di era kejayaan Islam tak hanya sekadar mengandung unsur hiburan. Para musisi Islam legendaris, seperti Abu Yusuf Yaqub ibnu Ishaq al-Kindi (801-873 M) dan Al-Farabi telah menjadikan musik sebagai alat pengobatan atau terapi. Sebelumnya Al-Kindi sudah menemukan adanya nilai-nilai pengobatan pada musik. Dengan terapi musik, al-Kindi mencoba menyembuhkan seorang anak yang mengalami quadriplegic atau lumpuh total. Sedangkan Al-Farabi menjelaskan terapi musik dalam risalah yang berjudul Meanings of Intellect. Dalam manuskripnya itu, al-Farabi telah membahas efek-efek musik terhadap jiwa. Terapi musik berkembang semakin pesat di dunia Islam pada era Kekhalifahan Turki Usmani. Gagasan dan pemikiran yang dicetuskan ilmuwan Muslim, seperti al-Razi, al-Farabi, dan Ibnu Sina, tentang musik sebagai alat terapi dikembangkan para ilmuwan di zaman kejayaan Turki Usmani.

Akhlaknya

Abu Nashr Al-Farabi hidup dengan akhlak yang tinggi, tidak terlalu mementingkan kepentingan dunia, tapi ia amat mencintai falsafah, ilmu dan kesenian. Pernah ia bekerja di istana Amir Saifud Daulah di Halb (Aleppo). Pun dimasa itu ia tidak pernah mau menerima pemberian dari Amir lebih dari keperluannya sehari-hari, kabarnya tidak lebih dari 4 dirham sehari. Kemudian ia pindah ke Damaskus, disanalah ia menetap hingga pulang ke Rahmatullah.

Al-Farabi meninggal paada tahun 950M. Sebagai seorang miskin, tidak meninggalkan harta benda, tetapi wafatnya sebagai seorang alim (yang berilmu), meninggalkan pusaka ruhani yang tak ternilai, takrusak dimakan masa, dari zaman ke zaman, menjadi sebuah mustika kebudayaan dunia.

Sekian, penjelasan Al-farabi, saya tutup dengan salah satu penggalan syairnya;

“Hidup bersahaja dialam maddah (materi) sebagai fakir, tapi memegang kendali di alam ruhani sebagai raja!”


-Royatul Islam-

No Response to "Abu Nashr Al-Farabi"

Post a Comment