Monday, October 25, 2010

Kisah Hay bin Yaqdzan

3

Falsafah dan Orang Awam

Ilmu falsafah amat sukar untuk dipelajari. Dengan berbagai masalah dan istilahnya yang kerap sulit sekali untuk dipahami dan hambar ketika dibaca, maka dari itu falsafah susah sekali memikat hati dan minat pembaca yang awam. Tidak heran jikalau seorang filosof seperti Ibnu Haitham menutup salah satu kitab falsafahnya (430H) dengan tegas mengatakan:

“Saya tidak menghadapkan kalam saya ini kepada semua manusia. Akan tetapi kepada tiap-tiap seorang dari mereka, yang harganya sama dengan ribuan, bahkan puluhan ribu orang. Dikarenakan tidak banyak manusia yang sampai kepada hak atau kebenaran yang halus dan tajam itu, kecuali yang mempunyai pemahaman yang halus dan tajam diantara mereka!”

Akan tetapi, sungguhpun demikan, falsafah itu bukanlah semestinya tetap menjadi milik dan dimonopoli oleh orang-orang yang digambarkan di atas saja. Semua orang dapat merasakan faedahnya apabila dapat disajikan dengan cara yang berbeda dan lebih mudah untuk dibaca.

Suatu ketika seorang awam bertanya kepada seorang Filosof Yunani, “Apakah faedahnya falsafah itu ?” Dijawabnya dengan mudah dan singkat, “Faedahnya adalah agar jangan ada satu batu bertengger diatas batu yang lain”.

Maksudnya ialah bilamana seorang penonton yang duduk diatas batu ketika menonton theater (tempat menonton berbagai macam permainan pada zaman itu), si penonton itu jangan disamakan derajatnya dengan batu yang ia duduki.

Jikalau si awam tidak sampai kepada falsafah, maka menjadi sebuah hutang bagi seorang filosof untuk mencapai usaha agar falsafah dapat memasuki alam pikiran mereka, menurut kadar dan cara yang sepadan dengan tingkatan akal mereka agar mereka dapat merasakan kelezatan hikmah-hikmahnya.

Maka Ibnu Thufail-lah yang mendapat kehormatan sebagai filosof muslim yang menunjukkan langkahnya dengan hasil yang gemilang.

Ibnu Thufail merupakan salah satu dari bintang-bintang filosof Andalusia dalam Abad ke-12. Ia mengetahui dimana letaknya rahasia bagaimana tulisannya dapat menjadi kegemaran masyarakat pada masa itu. Bahkan sampai-sampai pintu istana Amir Yusuf Abi Ja’ pun dibukakan agar ia dapat masuk menjadi tamu kehormatannya berkat tulisan-tulisannya.

Dia memahami bahwa didalam pembaca umum ada satu kaidah yang tidak boleh tidak harus ada, yakni yang dinamakan orang “avontlurik elemen” atau kisah-kisah pengalaman yang diluar dari kebiasaan, yang dapat mengorbankan perasaan (sensasional). Umpamanya seperti terdapat dalam cerita-cerita 1001 malam, Abu Nawas, dan lain-lain yang tidak saja hanya menjadi bacaan umum, akan tetapi telah menjadi sebagian dari perpustakaan dunia.

Kaidah itulah yang ditujukan oleh Ibnu Thufail dengan roman Falsafahnya yang bernama “Hay bin Yaqdzan” (si Hidup anak Kesadaran), yang diakui sebagai salah satu kitab yang “paling aneh dalam Abad Pertengahan”.

Kaidah yang diapakai Ibnu Thufail ini telah banyak diikuti oleh penulis-penulis terkenal Eropa setelah beliau seperti penulis dari cerita “Robinson Crusoe”, “Gulliver”, dan lain-lain.

Marilah kita baca sedikit ringkasan dari “roman” yang aneh ini:

“Arkian, menurut cerita orang-orang tua kita dahulu kala (demikianlah Ibnu Thufail memulai ceritanya). Di daerah tanah India, di bawah khatulistiwa, ada sebuah pulau yang didiami oleh seorang manusia yang lahir tidak berbapak dan tidak beribu.
Hal yang demikian itu dimungkinkan terjadi karena atmosfer dipulau itu adalah atmosfer yang sungguh nyaman dan paling bersih di dunia ini, oleh karena mendapat cahaya dari ruang langit yang paling tinggi. Ada yang mengatakan bahwa seseorang yang tinggal dipulau tersebut bernama Hay bin Yaqdzan.

Sebelumnya, ada yang mengatakan pula bahwa didekat pulau yang dimaksudkan itu ada lagi sebuah pulau yang amat banyak penduduknya. Pulau ini diperintah oleh seorang raja, yang amat tinggi hati dan cemburu tabiatnya. Raja tersebut memiliki seorang saudari perempuan yang selalu dihalang-halangi apabila hendak bersuami. Karena menurut pendapat pendapat sang raja belumlah ada pria di negerinya yang sepadan dengan saudari perempuannya itu.

Walaupun demikian, saudari raja tersebut akhirnya dapat juga menikah secara rahasia dengan seorang petani yang dicintainya, menurut peraturan agama yang berlaku di negeri itu. Hingga kemudian didapatlah dari pasangan suami-istri tersebut seorang anak laki-laki yang mereka namakan “Hay bin Yaqdzan”.
Akan tetapi alangkah sedihnya bilamana sukacita si Ibu dan si Bapak diputuskan, karena terpaksa harus berpisah dengan anak mereka yang baru lahir itu, dengan alasan hendak menyembunyikan pernikahan mereka yang tidak disukai oleh raja yang angkara murka itu.

Hay bin Yaqdzan dimasukan kedalam sebuah peti bertutup oleh ibunya. Dengan diiringi oleh teman-teman ibunya yang setia, pergilah si Ibu membawa si jantung hatinya dimalam yang gelap gulita ke tepi pantai. Disanalah ia berpisah dengan anaknya yang tercinta untuk selama-lamanya. Dengan hati remuk redam dan air mata yang bercucuran diletakanlah peti kecil itu ditepi laut serta berdoa kehadirat Ilahi, “Ya Tuhanku, Engkaulah yang menjadikan anak ini diwaktunya dia belum ada, Engkau pelihara dia selama di dalam kandunganku dan telah Engkau pelahara dia dari mulai lahir hingga sampai saat ini”.

“Maka sekarang, kuserahkan anakku ini kepada lindungan Engkau, ya Tuhanku, karena takut kepada raja yang dzalim itu. Janganlah dia Engkau tinggalkan, ya Arhamarrahimin”
Sejurus kemudian datanglah pasang naik yang biasanya meliputi pantai itu setahun sekali. Peti yang berisi bayi itu dibawa alun, terapung-apung beberapa lama dilautan yang besar, tertutup oleh ranting-ranting dan dedaunan kayu, terlindung dari hujan dan panasnya matahari.

Setelah pasang mulai turun terkandaslah peti tersebut pada sebuah pulau lain yang tidak didiami oleh manusia. Setelah terhempas beberapa kali oleh ombak tepi laut, pecahlah kunci peti tersebut.

Sesaat kemudian terdengarlah tangis Hay bin Yaqdzan yang sayup-sayup karena kedinginan dan kelaparan oleh seekor kambing hutan yang baru saja kehilangan anaknya. Disangka kambing itu adalah anaknya yang memanggil-manggil, dengan cepat ia berlari menuju sumber suara. Ternyata yang didapati oleh kambing tersebut adalah sebuah peti yang hampir pecah. Setelah ditanduknya beberapa kali, petipun terbelah menjadi dua, dan dilihat didalamnya terdapat seorang anak yang sedang menangis kedinginan. Melihat kondisi anak itu, maka jatuhlah rasa kasihan si kambing hutan, lalu disusukan dan dipeliharanya sebagai penggganti anaknya sendiri yang sudah hilang.......!”

Demikianlah Ibnu Thufail memulai roman falsafahnya dengan sajak ritma prosa yang meningkatkan selera pembaca untuk membacanya. Begitulah contoh apabila ilmu falsafah jatuh ke tangan seorang ahli syair. Ia berusaha agar ilmu falsafah yang ia miliki dapat memasuki alam pikiran pembaca melalui keahliannya sebagai ahli syair.
Ketika si pembaca sedang asyik merunutkan kisah nasib Hay bin Yaqdzan, setahap-demi setahap disisipkanlah ilmu-ilmu alam tentang teori “spontan generation” dan dihubungkannya dengan asal-usulnya Hay bin Yaqdzan pada awal cerita, yakni tentang mungkin atau tidaknya suatu makhluk yang lahir dari tumbuh-tumbuhan, hewan ataupun manusia yang secara tiba-tiba mengalami proses pertumbuhan dan pengasuhan oleh makhluk yang berbeda jenis, tidak sebagaimana mestinya.

Begitulah seterusnya cerita roman ini menarik pembacanya untuk merunutkan keberuntungan Hay bin Yaqdzan dari kecil menjadi muda, remaja, dewasa, hingga berpikiran matang.

Berkat penglihatannya yang jernih baik dari mata dzahirnya maupun mata hatinya, pendengarannya yang sehat, serta perasaan dan akalnya yang tajam didapatlah bermacam-macam ilmu yang ia dapat secara otodidak berupa ilmu berburu, bercocok tanam, bertenun, ilmu anatomi, dan lain-lain. Dan dari setiap kepintaran dan pendapat baru itu oleh Ibnu Thufail selalu disisipkan bermacam-macam pandangan falsafah dalam roman itu.

“Amatlah sedih hati Hay bin Yaqdzan ketika kambing yang menyusui dan mengasuhnya diwaktu kecil itu jatuh sakit. Ia mencoba memeriksa penyakit apa yang diderita kambing itu dan apa penyebabnya. Dan setelah kambing itu mati, diperiksanyalah jikalau penyakit yang menyebabkan maut itu dapat dilihat dalam dada hewan tersebut. Dibelahnya dada kambing itu dengan batu yang sudah diasahnya hingga tajam, diselidikinya struktur dan susunan jantung (pelajaran anatomi).

Timbulah perasaannya , bahwa sesuatu yang telah meninggalkan badan binatang itu adalah sesuatu yang tidak bersifat maddah tetapi bersifat lebih halus dari itu, yaitu ruhani yang apabila terhubung dengan badan jasmani menjadikan satu hewan yang hidup...........”

Ibnu Thufail membagi romannya ini atas beberapa bagian menurut tingkat pengetahuan tokoh utama yang didapatnya secara berangsur-angsur. (Bersambung)

3 Response to Kisah Hay bin Yaqdzan

October 25, 2010 at 6:04 PM

Alhamdulillah,, setelah selama satu setengah bulan mencari data dan informasi, akhirnya selesai juga tulisan Hay bin Yaqdzan ini,,,
Jangan lupa baca kelanjutannya ya "Hay bin Yaqdzan chap. 2) ^_^!!

January 19, 2011 at 12:04 PM

aku mau pakai nama ini di fb ku,bagus sekali.

March 23, 2012 at 11:43 PM

mangga silahkan kang

Post a Comment