Falsafah dan Orang Awam
Ilmu falsafah amat sukar untuk dipelajari. Dengan berbagai masalah dan istilahnya yang kerap sulit sekali untuk dipahami dan hambar ketika dibaca, maka dari itu falsafah susah sekali memikat hati dan minat pembaca yang awam. Tidak heran jikalau seorang filosof seperti Ibnu Haitham menutup salah satu kitab falsafahnya (430H) dengan tegas mengatakan:
“Saya tidak menghadapkan kalam saya ini kepada semua manusia. Akan tetapi kepada tiap-tiap seorang dari mereka, yang harganya sama dengan ribuan, bahkan puluhan ribu orang. Dikarenakan tidak banyak manusia yang sampai kepada hak atau kebenaran yang halus dan tajam itu, kecuali yang mempunyai pemahaman yang halus dan tajam diantara mereka!”
Akan tetapi, sungguhpun demikan, falsafah itu bukanlah semestinya tetap menjadi milik dan dimonopoli oleh orang-orang yang digambarkan di atas saja. Semua orang dapat merasakan faedahnya apabila dapat disajikan dengan cara yang berbeda dan lebih mudah untuk dibaca.
Suatu ketika seorang awam bertanya kepada seorang Filosof Yunani, “Apakah faedahnya falsafah itu ?” Dijawabnya dengan mudah dan singkat, “Faedahnya adalah agar jangan ada satu batu bertengger diatas batu yang lain”.
Maksudnya ialah bilamana seorang penonton yang duduk diatas batu ketika menonton theater (tempat menonton berbagai macam permainan pada zaman itu), si penonton itu jangan disamakan derajatnya dengan batu yang ia duduki.
Jikalau si awam tidak sampai kepada falsafah, maka menjadi sebuah hutang bagi seorang filosof untuk mencapai usaha agar falsafah dapat memasuki alam pikiran mereka, menurut kadar dan cara yang sepadan dengan tingkatan akal mereka agar mereka dapat merasakan kelezatan hikmah-hikmahnya.
Maka Ibnu Thufail-lah yang mendapat kehormatan sebagai filosof muslim yang menunjukkan langkahnya dengan hasil yang gemilang.
Ibnu Thufail merupakan salah satu dari bintang-bintang filosof Andalusia dalam Abad ke-12. Ia mengetahui dimana letaknya rahasia bagaimana tulisannya dapat menjadi kegemaran masyarakat pada masa itu. Bahkan sampai-sampai pintu istana Amir Yusuf Abi Ja’ pun dibukakan agar ia dapat masuk menjadi tamu kehormatannya berkat tulisan-tulisannya.
Dia memahami bahwa didalam pembaca umum ada satu kaidah yang tidak boleh tidak harus ada, yakni yang dinamakan orang “avontlurik elemen” atau kisah-kisah pengalaman yang diluar dari kebiasaan, yang dapat mengorbankan perasaan (sensasional). Umpamanya seperti terdapat dalam cerita-cerita 1001 malam, Abu Nawas, dan lain-lain yang tidak saja hanya menjadi bacaan umum, akan tetapi telah menjadi sebagian dari perpustakaan dunia.
Kaidah itulah yang ditujukan oleh Ibnu Thufail dengan roman Falsafahnya yang bernama “Hay bin Yaqdzan” (si Hidup anak Kesadaran), yang diakui sebagai salah satu kitab yang “paling aneh dalam Abad Pertengahan”.
Kaidah yang diapakai Ibnu Thufail ini telah banyak diikuti oleh penulis-penulis terkenal Eropa setelah beliau seperti penulis dari cerita “Robinson Crusoe”, “Gulliver”, dan lain-lain.
Marilah kita baca sedikit ringkasan dari “roman” yang aneh ini:
“Arkian, menurut cerita orang-orang tua kita dahulu kala (demikianlah Ibnu Thufail memulai ceritanya). Di daerah tanah India, di bawah khatulistiwa, ada sebuah pulau yang didiami oleh seorang manusia yang lahir tidak berbapak dan tidak beribu.
Hal yang demikian itu dimungkinkan terjadi karena atmosfer dipulau itu adalah atmosfer yang sungguh nyaman dan paling bersih di dunia ini, oleh karena mendapat cahaya dari ruang langit yang paling tinggi. Ada yang mengatakan bahwa seseorang yang tinggal dipulau tersebut bernama Hay bin Yaqdzan.
Sebelumnya, ada yang mengatakan pula bahwa didekat pulau yang dimaksudkan itu ada lagi sebuah pulau yang amat banyak penduduknya. Pulau ini diperintah oleh seorang raja, yang amat tinggi hati dan cemburu tabiatnya. Raja tersebut memiliki seorang saudari perempuan yang selalu dihalang-halangi apabila hendak bersuami. Karena menurut pendapat pendapat sang raja belumlah ada pria di negerinya yang sepadan dengan saudari perempuannya itu.
Walaupun demikian, saudari raja tersebut akhirnya dapat juga menikah secara rahasia dengan seorang petani yang dicintainya, menurut peraturan agama yang berlaku di negeri itu. Hingga kemudian didapatlah dari pasangan suami-istri tersebut seorang anak laki-laki yang mereka namakan “Hay bin Yaqdzan”.
Akan tetapi alangkah sedihnya bilamana sukacita si Ibu dan si Bapak diputuskan, karena terpaksa harus berpisah dengan anak mereka yang baru lahir itu, dengan alasan hendak menyembunyikan pernikahan mereka yang tidak disukai oleh raja yang angkara murka itu.
Hay bin Yaqdzan dimasukan kedalam sebuah peti bertutup oleh ibunya. Dengan diiringi oleh teman-teman ibunya yang setia, pergilah si Ibu membawa si jantung hatinya dimalam yang gelap gulita ke tepi pantai. Disanalah ia berpisah dengan anaknya yang tercinta untuk selama-lamanya. Dengan hati remuk redam dan air mata yang bercucuran diletakanlah peti kecil itu ditepi laut serta berdoa kehadirat Ilahi, “Ya Tuhanku, Engkaulah yang menjadikan anak ini diwaktunya dia belum ada, Engkau pelihara dia selama di dalam kandunganku dan telah Engkau pelahara dia dari mulai lahir hingga sampai saat ini”.
“Maka sekarang, kuserahkan anakku ini kepada lindungan Engkau, ya Tuhanku, karena takut kepada raja yang dzalim itu. Janganlah dia Engkau tinggalkan, ya Arhamarrahimin”
Sejurus kemudian datanglah pasang naik yang biasanya meliputi pantai itu setahun sekali. Peti yang berisi bayi itu dibawa alun, terapung-apung beberapa lama dilautan yang besar, tertutup oleh ranting-ranting dan dedaunan kayu, terlindung dari hujan dan panasnya matahari.
Setelah pasang mulai turun terkandaslah peti tersebut pada sebuah pulau lain yang tidak didiami oleh manusia. Setelah terhempas beberapa kali oleh ombak tepi laut, pecahlah kunci peti tersebut.
Sesaat kemudian terdengarlah tangis Hay bin Yaqdzan yang sayup-sayup karena kedinginan dan kelaparan oleh seekor kambing hutan yang baru saja kehilangan anaknya. Disangka kambing itu adalah anaknya yang memanggil-manggil, dengan cepat ia berlari menuju sumber suara. Ternyata yang didapati oleh kambing tersebut adalah sebuah peti yang hampir pecah. Setelah ditanduknya beberapa kali, petipun terbelah menjadi dua, dan dilihat didalamnya terdapat seorang anak yang sedang menangis kedinginan. Melihat kondisi anak itu, maka jatuhlah rasa kasihan si kambing hutan, lalu disusukan dan dipeliharanya sebagai penggganti anaknya sendiri yang sudah hilang.......!”
Demikianlah Ibnu Thufail memulai roman falsafahnya dengan sajak ritma prosa yang meningkatkan selera pembaca untuk membacanya. Begitulah contoh apabila ilmu falsafah jatuh ke tangan seorang ahli syair. Ia berusaha agar ilmu falsafah yang ia miliki dapat memasuki alam pikiran pembaca melalui keahliannya sebagai ahli syair.
Ketika si pembaca sedang asyik merunutkan kisah nasib Hay bin Yaqdzan, setahap-demi setahap disisipkanlah ilmu-ilmu alam tentang teori “spontan generation” dan dihubungkannya dengan asal-usulnya Hay bin Yaqdzan pada awal cerita, yakni tentang mungkin atau tidaknya suatu makhluk yang lahir dari tumbuh-tumbuhan, hewan ataupun manusia yang secara tiba-tiba mengalami proses pertumbuhan dan pengasuhan oleh makhluk yang berbeda jenis, tidak sebagaimana mestinya.
Begitulah seterusnya cerita roman ini menarik pembacanya untuk merunutkan keberuntungan Hay bin Yaqdzan dari kecil menjadi muda, remaja, dewasa, hingga berpikiran matang.
Berkat penglihatannya yang jernih baik dari mata dzahirnya maupun mata hatinya, pendengarannya yang sehat, serta perasaan dan akalnya yang tajam didapatlah bermacam-macam ilmu yang ia dapat secara otodidak berupa ilmu berburu, bercocok tanam, bertenun, ilmu anatomi, dan lain-lain. Dan dari setiap kepintaran dan pendapat baru itu oleh Ibnu Thufail selalu disisipkan bermacam-macam pandangan falsafah dalam roman itu.
“Amatlah sedih hati Hay bin Yaqdzan ketika kambing yang menyusui dan mengasuhnya diwaktu kecil itu jatuh sakit. Ia mencoba memeriksa penyakit apa yang diderita kambing itu dan apa penyebabnya. Dan setelah kambing itu mati, diperiksanyalah jikalau penyakit yang menyebabkan maut itu dapat dilihat dalam dada hewan tersebut. Dibelahnya dada kambing itu dengan batu yang sudah diasahnya hingga tajam, diselidikinya struktur dan susunan jantung (pelajaran anatomi).
Timbulah perasaannya , bahwa sesuatu yang telah meninggalkan badan binatang itu adalah sesuatu yang tidak bersifat maddah tetapi bersifat lebih halus dari itu, yaitu ruhani yang apabila terhubung dengan badan jasmani menjadikan satu hewan yang hidup...........”
Ibnu Thufail membagi romannya ini atas beberapa bagian menurut tingkat pengetahuan tokoh utama yang didapatnya secara berangsur-angsur. (Bersambung)
Readmore »»
Monday, October 25, 2010
Friday, October 22, 2010
Agar Kesalahan Menjadi Pintu Kebaikan
0
Rabi’ bin Hutsaim, seorang tabiin yang terkenal memiliki sikap selalu membersihkan jiwa mengatakan, “Seandainya manusia itu tahu tentang aibnya sendiri niscaya tak ada orang yang akan mencela diri orang lain.” Suatu ketika ia pernah ditanya seorang sahabatnya, “Wahai Abu Yazid –panggilan Rabi’- mengapa engkau tidak pernah mencela orang lain?” Ia menjawab, “Demi Allah, jiwaku saja belum tentu diridhai Allah lalu untuk apa aku mencela orang lain? Sesungguhnya banyak manusia yang takut kepada Allah karena melihat dosa-dosa yang dilakukan oleh orang lain. Tetapi tidak sedikit di antara mereka yang seperti tidak merasakan hal itu dengan dosa yang ia lakukan sendiri.” (Tabaqat Ibnu Sa’ad, 6/168)
Saudaraku,
Siapa di antara kita yang kuat menahan malu, andai kita tahu daftar kesalahan, kedurhakaan, kemaksiatan, dan pelanggaran yang kita lakukan? Siapa di antara kita yang mampu menahan rasa hina yang tiada tara, jika saja kita mengetahui catatan perilaku buruk dan dosa yang telah kita lakukan? Hidup yang sudah kita lalui singkat. Dua puluh, tiga puluh, atau empat puluh tahun? Tapi siapa yang kuat menahan penyesalan akibat keburukan dan dosa yang kerap kita lakukan berulang-ulang?
Saudaraku, mari perbaharui taubat,
Mari perbanyak istighfar dan permohonan ampun pada Allah swt. Rasulullah menggambarkan, sebuah dosa seperti noda hitam di dalam hati. Kian banyak noda hitam itu, maka hati menjadi hitam legam, kelam. Sinarnya bukan hanya redup, tapi gelap. Cahayanya tertutup oleh titik-titik noda yang menjadikannya tak mampu lagi memandang dan menimbang kebenaran. “Bila seseorang melepaskan diri dari dosa, beristighfar dan bertaubat, hatinya akan cemerlang seperti semula. Dan bila ia mengulangi perbuatan dosa maka noda hitam itu akan bertambah hingga meliputi hatinya. Allah swt berfirman, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (HR. Turmudzi).
Mirip dengan hadits dan firman Allah tadi, Hasan Al Bashri menyebutkan bahwa ketaatan itu identik dengan cahaya batin dan kekuatan fisik. “Kebaikan itu memberi cahaya dalam hati, melahirkan kekuatan bagi tubuh. Sementara keburukan akan menggelapkan hati dan melemahkan tubuh, serta mempengaruhi terhadap rezeki,” ujar Hasan Al Bashri. Ia kemudian mengutip sebuaj sabda Rasulullah saw, “Seseorang dihalangi rezekinya karena dosa yang ia lakukan.” (HR. Ibnu Majah).
Saudaraku,
Meski begitu, kemaksiatan bukan akhir dari segalanya. Melakukan dosa tak berarti kejatuhan yang tak mungkin pelakunya bangkit kembali. Inti pesan yang ingin disampaikan dalam hadits dan perkataan Hasan Al Bashri tadi adakalah , ajakan utnuk mengulang-ulang dan memperbaharui taubat. Iamam Ibnul Qayyim pernah menguraikan panjang, betapa kesalahan dan dosa yuang diperbuat oleh Nabiyullah Adam as hingga ia diturunkan dari surga ke bumi, ternyata membuka banyak hikmah dan karunia Allah kepada Adam dan keturunannya. Dalam kitab Al Fawaid, Ibnul Qayyim menulis bahwa syaitan yang dengki gembira dengan jatuhnya Adam dan Hawa ke lembah dosa dan terpeleset dari surga. Tapi sesunggguhnya keluarnya Adam dan Hawa dari sutga menyebabkan ia melahirkan banyak karunia Allah kepadamanusia karena kemudian lahir anak cucu yang kelak menjadi khalifah di muka bumi. Bahkan ada hadits Rasulullah yang menyebutkan, “Dan demi dzat yang di diriku ada kekuasaan-Nya, jika kalian tak melakukan dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian lalu akan mendatangkan kaum lain yang akan berdosa, kemudian mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim setelah itu, memberi komentar sangat indah bahwa ketika Adam dikeluarkan dari surga karena kesalahannya, tidak berarti Allah tidak memperdulikannya. Allah tetap memelihara keturunan Adam dan anak cucunya. Karena selanjutnya Allah pun tetap menjadikan surga untuk Adam dan anak cucunya yang beriman dan taat kepada Allah swt, selama-lamanya. Jadi, dikeluarkannya Adam dari surga seolah hanya sementara waktu untuk menyempurnakan bangunan surga itu sendiri. Sama seperti manusia yang ingin melakukan renovasi tempat tinggal lalu ia harus keluar dari rumah itu sementara dan kembali lagi. Tulis Ibnul Qayyim rahimahullah.
Ibnul Qayyim juga menggarisbawahi bahwa meski dengan segala keutamaan yang Allah berikan kepada Adam, tapi Adam tetap menyadari dan kembali kepada Allah, memohon ampun terhadap kemaksiatan yang dilakukannya. Karena itulah, Nabiyullah Adam as, yang disebutkan dalam Al Qur’an berbunyi, “Ya Rabb kami, kami telah mendzalimi diri kami sendiri dan jika Engkau tidak memberi ampun kepada diri kami niscaya kami menjadi orang-orang yang merugi….” Kesalahan telah membuat Adam merasakan kedekatan dan ketergantungan luar biasa kepada Allah swt.
Saudaraku,
Demikianlah. Kemaksiatan dan dosa, ternyata bisa saja menjadi pintu kebaikan bagi pelakunya. Syaratnya hanya satu, yakni perbaharui taubat. Pintu kebaikan ada di mana saja. Termasuk di hadapan pelaku kemaksiatan. Jangan mencela berlebihan perilaku maksiat yang dilakukan oleh orang lain. Karena mungkin saja di lain kemaksiatan itu ternyata melecut pelakunya untuk melakukan keshalihan yang bisa jadi kita sama sekali tidak mampu melakukannya.
Tinggalkan kemaksiatan, sesali dosa, perbaharui taubat, jangan biarkan diri hanyut dalam nikmatnya ayunan kesalahan. Ingat saudaraku, jika kita ikhlas, Allah pasti akan menggantikan kenikmatan dosa yang kita tinggalkan dengan sesuatu yang lebih indah dan nikmat sejak di dunia, terlebih di akhirat. Dengarkanlah perkataan yang diucapkan Ibnu Sirin, seorang tokoh ulama di zaman Tabi’in yang terkenal memiliki kepekaan spiritual di zamannya. Ia mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang meninggalkan suatu keburukan yang ia rasakan nikmat, hanya karena Allah, kecuali ia pasti akan menemukan gantinya dari Allah swt…”
Atau perhatikanlah sabda Rasulullah saw, “Barang siapa yang memalingkan pandangan dari sesuatu yang haram, maka Allah akan berikan satu titik cahaya dalam hatinya…”
Saudaraku,
“Semoga Allah merahmati hamba yang berkata pada jiwanya, ‘Bukankah kamu telah melakukan ini? Bukankah kamu telah melakukan ini?’ Lalu ia mengikat jiwanya bahkan memukulnya, dan setelah itu ia mengurung jiwanya untuk selalu taat sesuai perintah Allah sampai ia menjadi komando bagi jiwanya dan bukan sebaliknya dikomando oleh nafsunya.” Begitu ucapan Malik bin Dinar.
Tengadahkan tangan saudaraku, kita sama-sama berdo’a: “Ya Allah, jadikan kondisi rahasiaku lebih baik dari kondisi lahirku. Dan jadikanlah kondisi lahirku itu baik. Jadikanlah batinku lebih baik dari lahirku. Dan jadikanlah lahirku baik. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari menganggap diriku besar, tapi Engkau menganggapku kecil… Ya Allah, aku berlindung dengan ridho-Mu dari kemarahan-Mu.. aku berlindung dengan maaf-Mu dari azab-Mu
Readmore »»
Saudaraku,
Siapa di antara kita yang kuat menahan malu, andai kita tahu daftar kesalahan, kedurhakaan, kemaksiatan, dan pelanggaran yang kita lakukan? Siapa di antara kita yang mampu menahan rasa hina yang tiada tara, jika saja kita mengetahui catatan perilaku buruk dan dosa yang telah kita lakukan? Hidup yang sudah kita lalui singkat. Dua puluh, tiga puluh, atau empat puluh tahun? Tapi siapa yang kuat menahan penyesalan akibat keburukan dan dosa yang kerap kita lakukan berulang-ulang?
Saudaraku, mari perbaharui taubat,
Mari perbanyak istighfar dan permohonan ampun pada Allah swt. Rasulullah menggambarkan, sebuah dosa seperti noda hitam di dalam hati. Kian banyak noda hitam itu, maka hati menjadi hitam legam, kelam. Sinarnya bukan hanya redup, tapi gelap. Cahayanya tertutup oleh titik-titik noda yang menjadikannya tak mampu lagi memandang dan menimbang kebenaran. “Bila seseorang melepaskan diri dari dosa, beristighfar dan bertaubat, hatinya akan cemerlang seperti semula. Dan bila ia mengulangi perbuatan dosa maka noda hitam itu akan bertambah hingga meliputi hatinya. Allah swt berfirman, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (HR. Turmudzi).
Mirip dengan hadits dan firman Allah tadi, Hasan Al Bashri menyebutkan bahwa ketaatan itu identik dengan cahaya batin dan kekuatan fisik. “Kebaikan itu memberi cahaya dalam hati, melahirkan kekuatan bagi tubuh. Sementara keburukan akan menggelapkan hati dan melemahkan tubuh, serta mempengaruhi terhadap rezeki,” ujar Hasan Al Bashri. Ia kemudian mengutip sebuaj sabda Rasulullah saw, “Seseorang dihalangi rezekinya karena dosa yang ia lakukan.” (HR. Ibnu Majah).
Saudaraku,
Meski begitu, kemaksiatan bukan akhir dari segalanya. Melakukan dosa tak berarti kejatuhan yang tak mungkin pelakunya bangkit kembali. Inti pesan yang ingin disampaikan dalam hadits dan perkataan Hasan Al Bashri tadi adakalah , ajakan utnuk mengulang-ulang dan memperbaharui taubat. Iamam Ibnul Qayyim pernah menguraikan panjang, betapa kesalahan dan dosa yuang diperbuat oleh Nabiyullah Adam as hingga ia diturunkan dari surga ke bumi, ternyata membuka banyak hikmah dan karunia Allah kepada Adam dan keturunannya. Dalam kitab Al Fawaid, Ibnul Qayyim menulis bahwa syaitan yang dengki gembira dengan jatuhnya Adam dan Hawa ke lembah dosa dan terpeleset dari surga. Tapi sesunggguhnya keluarnya Adam dan Hawa dari sutga menyebabkan ia melahirkan banyak karunia Allah kepadamanusia karena kemudian lahir anak cucu yang kelak menjadi khalifah di muka bumi. Bahkan ada hadits Rasulullah yang menyebutkan, “Dan demi dzat yang di diriku ada kekuasaan-Nya, jika kalian tak melakukan dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian lalu akan mendatangkan kaum lain yang akan berdosa, kemudian mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim setelah itu, memberi komentar sangat indah bahwa ketika Adam dikeluarkan dari surga karena kesalahannya, tidak berarti Allah tidak memperdulikannya. Allah tetap memelihara keturunan Adam dan anak cucunya. Karena selanjutnya Allah pun tetap menjadikan surga untuk Adam dan anak cucunya yang beriman dan taat kepada Allah swt, selama-lamanya. Jadi, dikeluarkannya Adam dari surga seolah hanya sementara waktu untuk menyempurnakan bangunan surga itu sendiri. Sama seperti manusia yang ingin melakukan renovasi tempat tinggal lalu ia harus keluar dari rumah itu sementara dan kembali lagi. Tulis Ibnul Qayyim rahimahullah.
Ibnul Qayyim juga menggarisbawahi bahwa meski dengan segala keutamaan yang Allah berikan kepada Adam, tapi Adam tetap menyadari dan kembali kepada Allah, memohon ampun terhadap kemaksiatan yang dilakukannya. Karena itulah, Nabiyullah Adam as, yang disebutkan dalam Al Qur’an berbunyi, “Ya Rabb kami, kami telah mendzalimi diri kami sendiri dan jika Engkau tidak memberi ampun kepada diri kami niscaya kami menjadi orang-orang yang merugi….” Kesalahan telah membuat Adam merasakan kedekatan dan ketergantungan luar biasa kepada Allah swt.
Saudaraku,
Demikianlah. Kemaksiatan dan dosa, ternyata bisa saja menjadi pintu kebaikan bagi pelakunya. Syaratnya hanya satu, yakni perbaharui taubat. Pintu kebaikan ada di mana saja. Termasuk di hadapan pelaku kemaksiatan. Jangan mencela berlebihan perilaku maksiat yang dilakukan oleh orang lain. Karena mungkin saja di lain kemaksiatan itu ternyata melecut pelakunya untuk melakukan keshalihan yang bisa jadi kita sama sekali tidak mampu melakukannya.
Tinggalkan kemaksiatan, sesali dosa, perbaharui taubat, jangan biarkan diri hanyut dalam nikmatnya ayunan kesalahan. Ingat saudaraku, jika kita ikhlas, Allah pasti akan menggantikan kenikmatan dosa yang kita tinggalkan dengan sesuatu yang lebih indah dan nikmat sejak di dunia, terlebih di akhirat. Dengarkanlah perkataan yang diucapkan Ibnu Sirin, seorang tokoh ulama di zaman Tabi’in yang terkenal memiliki kepekaan spiritual di zamannya. Ia mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang meninggalkan suatu keburukan yang ia rasakan nikmat, hanya karena Allah, kecuali ia pasti akan menemukan gantinya dari Allah swt…”
Atau perhatikanlah sabda Rasulullah saw, “Barang siapa yang memalingkan pandangan dari sesuatu yang haram, maka Allah akan berikan satu titik cahaya dalam hatinya…”
Saudaraku,
“Semoga Allah merahmati hamba yang berkata pada jiwanya, ‘Bukankah kamu telah melakukan ini? Bukankah kamu telah melakukan ini?’ Lalu ia mengikat jiwanya bahkan memukulnya, dan setelah itu ia mengurung jiwanya untuk selalu taat sesuai perintah Allah sampai ia menjadi komando bagi jiwanya dan bukan sebaliknya dikomando oleh nafsunya.” Begitu ucapan Malik bin Dinar.
Tengadahkan tangan saudaraku, kita sama-sama berdo’a: “Ya Allah, jadikan kondisi rahasiaku lebih baik dari kondisi lahirku. Dan jadikanlah kondisi lahirku itu baik. Jadikanlah batinku lebih baik dari lahirku. Dan jadikanlah lahirku baik. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari menganggap diriku besar, tapi Engkau menganggapku kecil… Ya Allah, aku berlindung dengan ridho-Mu dari kemarahan-Mu.. aku berlindung dengan maaf-Mu dari azab-Mu
Readmore »»
Thursday, October 14, 2010
Abu Nashr Al-Farabi
0Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Auzalagh bin Thurkhan, anak dari seorang pembesar militer dari Persia. Dilahirkan di Farab, Kazakhstan. Tidak diketahui pasti kapan tahun kelahirannya , akan tetapi beliau meninggal dalam umur +/- 80 tahun pada Bulan Rajab tahun 339 H (December 950M).
Diriwayatkan bahwa Al-Farabi adalah seorang yang amat bersahaja semasa hidupnya, mencari sesuap nasi pagi hingga petang sebagai tukang kebun. Walaupun demikian kefakiran yang dideritanya, tapi tidak sedikitpun menghalanginya untuk terus bekerja dalam dunia falsafah. Pada siang hari ia menyingsingkan lengan baju sebagai tukang kebun dan di malam hari ia sibuk memegang pena dan memutar otak sebagai seorang filosof meskipun hanya diterangi lampu yang sangat redup. Ia memberi syarah (penjelasan) dan komentar mengenai falsafah Aristoteles dan Plato yang sulit dimengerti, serta membandingkan paham kedua filosof tersebut dengan ajaran Agama Islam.
Al-Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, justru sama-sama membawa kebenaran. Hal ini terbukti dengan karangannya yang berjudul Al-Jami’ Baina Ra’yani Al-Hakimain dengan maksud mempertemukan pikiran-pikiran plato dengan Aristoteles. Kendatipun begitu, Al-Farabi juga mempertemukan hasil-hasil pemikiran filsafat dengan wahyu dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batini) . Al-Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seorang wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai (Peripaterik) filosof-keilmuan. Tidak heran jika ia mendapat gelar Al-Mu’alim Ats-Tsani .
Al-Farabi juga memperdalam semua ilmu yang dimiliki oleh Al-Kindi. Al-kindi adalah seorang ilmuwan dan filosof muslim yang sangat disegani dan berjasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan sains modern. Malah dalam beberapa ilmu Al-Farabi melebihi Al-Kindi, terutama dalam ilmu mantik.
Selain itu Al-farabi menulis lagi beberapa kitab tentang berbagai macam ilmu yang belum pernah ditulis oleh orang lain sebelumnya, seperti kitab Ih Sa Ul Ulum yaitu kitab mengenai ilmu statistik, yang telah diterjemahkan dalam bahasa latin dan Hibrani. Masih ada peninggalan salah satu naskah dari kitab tersebut di El-Escorial dekat kota Madrid.
Potilik Ekonomi
Selain dari itu Al-Farabi lah yang pertama kali menulis tentang “Assiyasatul Madaniyah”, yakni yang dinamakan orang sebagai “politik ekonomi”, yang dianggap oleh orang –orang Eropa sekarang sebagai ilmu dan pendapat mereka yang Asli atau orisinil. Padahal seorang filsof muslim, 1000 tahun yang lalu, telah menguraikan dasar ilmu tersebut. Kemudian ilmu tersebut diuraikan kembali oleh seorang Filsof muslim pula, Ibnu Chaldun, dalam kitabnya yang masyhur “Muqaddamah”. Dari tangan Ibnu chaldun inilah kemudain ilmu ini sampai kepada Machiavelli, Hegel, Gibbon, dan lain-lainnya. Kitab Assiyasatul Madaniyah ini ada yang dicetak di Beirut pada tahun 1906.
Musik
Tidak sedikit pula jasa Al-Farabi dalam memajukan ilmu musik. Ia mengarang lagu, ia membuat Instrumen, ia menulis teori dan memperbaiki berbagai kesalahan teori ahli musik terdahulu, serta menyusun metode belajar yang lebih sempurna. Diterangkan olehnya sifat-sifat suara, bagaimana irama (ritma), dan harmoninya. Ditunjukkannya berbagai macam maat (tempo) serta penggunaan Mayor dan Minor dalam nada.
Saat tinggal di Istana Saif al-Dawla Al-Hamdani di Kota Aleppo, Al-Farabi mengembangkan kemampuan musik serta teori tentang musik. Al-Farabi juga diyakini sebagai penemu dua alat musik, yakni rabab dan qanun. Ia menulis tak kurang dari lima judul kitab tentang musik. Salah satu kitab yang ia tulis adalah Kitabu al-Musiqa to al-Kabir atau The Great Book of Music, yang disebut-sebut sebagai buku penting dalam bidang musik.
Pemikirannya di bidang musik masih berpengaruh hingga abad ke-16 M. Kitab musik yang ditulisnya itu sempat diterjemahkan oleh Ibnu Aqnin (1160 M-1226 M) ke dalam bahasa Ibrani. Selain itu, karyanya itu juga dialihbahasakan ke dalam bahasa Latin berjudul De Scientiis dan De Ortu Scientiarum.
Didalam teori musik Al-Farabi itu, Ia mencoba menggabungkan antara musik dengan teorema Pythagoras, sehingga menghasilkan hipotesis yang disebut “suara bintang”. Dengan jalan praktek Al-Farabi menentukan bagaimana pengaruhnya gelombang-gelombang suara (Geluidsgloven) atas tali-tali dari alat musik. Dengan metoda yang orisinil dan otodidak, beliau menemukan cara menyusun suara atau susunan tangga nada yang lebih berwana dan enak tuk didengar, yang belum diketahui oleh ahli-ahli musik pada masa itu.
Seni musik yang berkembang begitu pesat di era kejayaan Islam tak hanya sekadar mengandung unsur hiburan. Para musisi Islam legendaris, seperti Abu Yusuf Yaqub ibnu Ishaq al-Kindi (801-873 M) dan Al-Farabi telah menjadikan musik sebagai alat pengobatan atau terapi. Sebelumnya Al-Kindi sudah menemukan adanya nilai-nilai pengobatan pada musik. Dengan terapi musik, al-Kindi mencoba menyembuhkan seorang anak yang mengalami quadriplegic atau lumpuh total. Sedangkan Al-Farabi menjelaskan terapi musik dalam risalah yang berjudul Meanings of Intellect. Dalam manuskripnya itu, al-Farabi telah membahas efek-efek musik terhadap jiwa. Terapi musik berkembang semakin pesat di dunia Islam pada era Kekhalifahan Turki Usmani. Gagasan dan pemikiran yang dicetuskan ilmuwan Muslim, seperti al-Razi, al-Farabi, dan Ibnu Sina, tentang musik sebagai alat terapi dikembangkan para ilmuwan di zaman kejayaan Turki Usmani.
Akhlaknya
Abu Nashr Al-Farabi hidup dengan akhlak yang tinggi, tidak terlalu mementingkan kepentingan dunia, tapi ia amat mencintai falsafah, ilmu dan kesenian. Pernah ia bekerja di istana Amir Saifud Daulah di Halb (Aleppo). Pun dimasa itu ia tidak pernah mau menerima pemberian dari Amir lebih dari keperluannya sehari-hari, kabarnya tidak lebih dari 4 dirham sehari. Kemudian ia pindah ke Damaskus, disanalah ia menetap hingga pulang ke Rahmatullah.
Al-Farabi meninggal paada tahun 950M. Sebagai seorang miskin, tidak meninggalkan harta benda, tetapi wafatnya sebagai seorang alim (yang berilmu), meninggalkan pusaka ruhani yang tak ternilai, takrusak dimakan masa, dari zaman ke zaman, menjadi sebuah mustika kebudayaan dunia.
Sekian, penjelasan Al-farabi, saya tutup dengan salah satu penggalan syairnya;
“Hidup bersahaja dialam maddah (materi) sebagai fakir, tapi memegang kendali di alam ruhani sebagai raja!”
-Royatul Islam-
Readmore »»
Wednesday, October 13, 2010
Cinta - Cermin Kebenaran
0
Begitulah susunan kejadiannya. Di awal hanya ada Allah sendiri. Lalu Ia menciptakan Arsy-Nya di atas air. Setelah itu Ia menciptakan pena. Kemudian dengan pena itulah Ia menitahkan penulisan semua makhluk yang akan Ia ciptakan di alam raya ini: langit, bumi, malaikat, manusia, jin hingga surga dan neraka. Dengan pena itu juga Ia menitahkan penulisan semua kejadian — dengan urutan-urutan dan kaitan-kaitannya pada dimensi ruang dan waktu yang akan dialami makhluk-makhluk-Nya.
Tampaknya dengan sengaja Ibnu Katsir mengawali bahasan sejarahnya dalam Awal dan Akhir dengan cerita tadi. Tiba-tiba sejarah terbentang sebagai sebuah cerita penciptaan tanpa henti. Dari Allah awalnya, dan kelak kesana akhirnya. Tapi jika Allah tidak mendapatkan manfaat dari ciptaan-ciptaan-Nya, maka tidak ada yang dapat menjelaskan motif di balik cerita kehidupan itu kecuali hanya satu kata: cinta!
Maka, kata Ibnul Qoyyim dalam bukunya Taman Para Pencinta, “semua gerak di alam raya ini, di langit dan bumi, adalah gerak yang lahir dari kehendak dan cinta.” Dengan dan untuk itulah alam ini bergerak. Kehendak dan cintalah alasan pergerakan dan perhentiannya. Bahkan dengan untuk kehendak dan cinta jugalah alam ini diciptakan.
Maka tak satupun makhluk di alam ini yang bergerak kecuali bahwa kehendak dan cintalah motif dan tujuannya. Sesungguhnya hakikat cinta adalah gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya. Maka cinta adalah gerak tanpa henti. Dan inilah makna kebenaran ketika Allah mengatakan: “Dan tiadalah Kami menciptakan langit dan bumi serta semua yang ada di antaranya kecuali dengan kebenaran.” (QS. Al Hijr:85)
Jadi cinta adalah makna kebenaran dalam penciptaan. Itu sebabnya, hati yang dipenuhi dengan cinta lebih mudah dan cepat menangkap kebenaran. Cinta tidak tumbuh dalam hati yang dipenuhi keangkuhan, angkara murka dan dendam. Cinta melahirkan pengakuan dan kerendahan hati. Cinta adalah cahaya yang memberikan kekuatan penglihatan pada mata hati kita. Begitulah cinta akhirnya membimbing tangan Abu Bakar, Al Najasyi, atau Cat Steven kepada Islam. Begitu juga akhirnya keangkuhan menyesatkan Abu Jahal, Heraklius, atau George Bush. Cinta dalam jiwa, kata Iqbal, serupa penglihatan pada mata.
Pengetahuan bahkan bisa menyesatkan kalau ia tidak dibimbing oleh kelembutan tangan cinta. Itu kebutaan!!!, kata Einstein. Sebab ia tidak melahirkan pengakuan dan kerendahan hati. Itu juga yang menjelaskan mengapa ilmu pengetahuan modern justru menjauhkan Barat dari Tuhan. Disana cinta tidak membimbing pengetahuan. Maka dengan penuh keyakinan Iqbal kemudian berkata dalam Javid Namah:
Pengetahuan bersemayam dalam pikiran,
Tempat cinta ialah hati yang sadar-jaga,
Selama pengetahuan yang tak sedikit juga mengandung cinta,
Adalah itu hanya permainan sulap si Samiri;
Pengetahuan tanpa Ruh Kudus hanya penyihiran Readmore »»
Tampaknya dengan sengaja Ibnu Katsir mengawali bahasan sejarahnya dalam Awal dan Akhir dengan cerita tadi. Tiba-tiba sejarah terbentang sebagai sebuah cerita penciptaan tanpa henti. Dari Allah awalnya, dan kelak kesana akhirnya. Tapi jika Allah tidak mendapatkan manfaat dari ciptaan-ciptaan-Nya, maka tidak ada yang dapat menjelaskan motif di balik cerita kehidupan itu kecuali hanya satu kata: cinta!
Maka, kata Ibnul Qoyyim dalam bukunya Taman Para Pencinta, “semua gerak di alam raya ini, di langit dan bumi, adalah gerak yang lahir dari kehendak dan cinta.” Dengan dan untuk itulah alam ini bergerak. Kehendak dan cintalah alasan pergerakan dan perhentiannya. Bahkan dengan untuk kehendak dan cinta jugalah alam ini diciptakan.
Maka tak satupun makhluk di alam ini yang bergerak kecuali bahwa kehendak dan cintalah motif dan tujuannya. Sesungguhnya hakikat cinta adalah gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya. Maka cinta adalah gerak tanpa henti. Dan inilah makna kebenaran ketika Allah mengatakan: “Dan tiadalah Kami menciptakan langit dan bumi serta semua yang ada di antaranya kecuali dengan kebenaran.” (QS. Al Hijr:85)
Jadi cinta adalah makna kebenaran dalam penciptaan. Itu sebabnya, hati yang dipenuhi dengan cinta lebih mudah dan cepat menangkap kebenaran. Cinta tidak tumbuh dalam hati yang dipenuhi keangkuhan, angkara murka dan dendam. Cinta melahirkan pengakuan dan kerendahan hati. Cinta adalah cahaya yang memberikan kekuatan penglihatan pada mata hati kita. Begitulah cinta akhirnya membimbing tangan Abu Bakar, Al Najasyi, atau Cat Steven kepada Islam. Begitu juga akhirnya keangkuhan menyesatkan Abu Jahal, Heraklius, atau George Bush. Cinta dalam jiwa, kata Iqbal, serupa penglihatan pada mata.
Pengetahuan bahkan bisa menyesatkan kalau ia tidak dibimbing oleh kelembutan tangan cinta. Itu kebutaan!!!, kata Einstein. Sebab ia tidak melahirkan pengakuan dan kerendahan hati. Itu juga yang menjelaskan mengapa ilmu pengetahuan modern justru menjauhkan Barat dari Tuhan. Disana cinta tidak membimbing pengetahuan. Maka dengan penuh keyakinan Iqbal kemudian berkata dalam Javid Namah:
Pengetahuan bersemayam dalam pikiran,
Tempat cinta ialah hati yang sadar-jaga,
Selama pengetahuan yang tak sedikit juga mengandung cinta,
Adalah itu hanya permainan sulap si Samiri;
Pengetahuan tanpa Ruh Kudus hanya penyihiran Readmore »»
Tuesday, October 5, 2010
Tahukah kita seberapa besar kekuatan do’a
0
Tahukah kita seberapa besar kekuatan do’a di saat-saat genting? Situasi genting yang paling genting, adalah saat para pejuang Allah swt menghadapi kekuatan musuh Allah swt yang lebih besar secara materil. Kegentingan yang pernah dialami hampir oleh para Rasul Allah swt, tak ter kecuali Rasulullah Muhammad saw.
Saudaraku,
Bayangkanlah kegentingan yang dialami Nabiyullah Musa as saat ia dan kaumnya dikejar Fir’aun dan bala tentaranya, sampai terpojok di tepi laut. Perhatikanlah bagaimana kegentingan ini digambarkan oleh Al-Qur’anul Karim. “Maka, ketika kedua kelompok itu saling melihat, berkatalah pengikut Musa , “Sungguh kita akan benar-benar tersusul.” Musa menjawab, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya Tuhanku menyertaiku. Dia akan memberi petujuk kepadaku.” (QS.Asy Syu ’ara:62).
Betapa kegentingan dan kengerian menyergap hati kaum Bani Israel yang saat itu dipimpin Musa as. Tapi Musa as memiliki keyakinan dan ketergantungan yang kuat dengan Allah swt. Ia yakin, Allah pasti membelanya. Ia yakin, bahwa tak ada yang memiliki kekuatan kecuali Allah swt.Musa as, begitu dekat dengan Allah swt.
Saudaraku,
Mari kita lihat lagi jejak para pejuang di jalan Allah swt yang ditinggalkan dalam lembar-lembar sejarah. Kita ingin mengetahui dan turut merasakan bagaimana kedudukan keyakinan dan do ’a kepada Allah sebagai senjata paling ampuh hingga kemenangan berhasil mereka raih.
Lihatlah saudaraku,
Di malam senyap dan gelap. Malam peperangan Badar Kubro. Para sahabat radhiallahuanhum tertidur. Kecuali Rasulullah saw sedang terjaga dan shalat di samping sebuah pohon. Ia berulangkali sujud dengan mengatakan, “Yaa hayyu yaa Qayyuuum... (Wahai Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri) Rasulullah saw terus menerus mengulang-ulang ucapan itu, agar Allah swt mendatangkan kemenangan pada kaum beriman. (Al Bidayah wa An Nihayah , 5/82). Seperti itulah keyakinan berpadu permohonan yang sangat dari seorang Rasulullah saw saat menghadapi suasana genting. Lalu, ketika melihat pasukan Quraisy, ia mengatakan, “Ya Allah inilah Quraisy telah datang dengan kesombongan dan kepongahannya. Mereka mendustai Rasul-Mu. Ya Allah timpakanlah bencana kepada mereka esok.(Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, 3/168)
Umar bin Khattab meriwayatkan, detik-detik pecahnya pertempuran di Badar, Rasulullah saw memandang para sahabatnya yang berjumlah tiga ratusan orang. Lalu ia melihat barisan kaum Musyirikin yang jumlahnya lebih dari 1000 orang. Utusan Allah swt itu bersabda, “Ya Allah, berikanlah kepadaku apa yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau musnahkan kelompok Islam ini, Engkau tidak lagi disembah di muka bumi selamanya.” Kata Umar,, Rasulullah saw terus menerus berdoa sampai selendangnya terjatuh dari pundaknya. Abu Bakar ra yang memungutnya mengatakan, “Wahai Nabi Allah, cukup sudah do ’amu kepada Allah swt. Dia pasti memberimu apa yang dijanjikan kepadamu...” (HR.Ahmad)
Saudaraku,
Pernahkah kita mendengar kisah Nu ’man bin Maqran? Seorang pejuang Islam yang memimpin peperangan melawan Persia. Ketika itu, pasukan Islam telah berminggu- minggu mengepung benteng Persia yang kokoh karena pertahanannya melewati parit parit. Nu ’man berdiskusi dengan komandan perangnya. Mereka merumuskan strategi untuk memancing pasukan Persia keluar dari parit-parit mereka. Caranya, pasukan Islam berpura-pura lari meninggalkan medan tempur sampai jika orang-orang Persia keluar dari
parit, barulah pasukan Islam berbalik menyerang mereka. Nu ’man sepakat dengan strategi ini. Ia mengatakan kepada rekan-rekannya, “Nanti akulah yang akan meneriakkan takbir tiga kali. Jika kalian mendengar teriakan takbir ketiga, berarti saat itulah kalian mulai peperangan.” Setelah itu, Nu ’man pergi ke salah satu tempat dan berdo ’a kepada Allah swt dengan mengatakan, “Ya Allah, muliakanlah agamamu, menangkanlah hamba-Mu. Ya Allah aku memohon kepada-Mu agar mataku sejuk dengan kemenangan yang menjadikan Islam mulia, dan matikanlah aku dalam keadaan syahid.” Orang-orang yang mendengar do ’a Nu ’man menangis. Mereka sama-sama larut dalam munajat dan do ’a dengan penuh khusyu ’ dan tunduk.
Saudaraku,
Allah swt mengabulkan do ’a mereka. Kaum Muslimin diberikan kemenangan oleh Allah swt dengan kemenangan yang luar biasa. Allah swt juga mengabulkan do ’a Nu ’man bin Maqran karena dialah prajurit pertama yang syahid di medan perang ketika itu. (Al Bidayah wa An Nihayah, 7/89) Seorang sahabat ada yang bernama Qutaibah bin Muslim dan Muhammad bin Wasi ’. Ibnul Jauzi dalam Shifatu Shafwah menceritakan pengalaman keduanya menjelang peperangan meletus. Tiba-tiba Muhammad bin Wasi ’ menghilang dari barisan. Qutaibah lalu memerintahkan pasukannya melihat siapa yang ada di dalam masjid. Pasukannya mengatakan, “Tak ada seorangpun kecuali Muhammad bin Wasi ’. Ia sedang mengangkat jari-jarinya.” Qutaibah mengatakan,, “Jari-jarinya yang terangkat itu lebih aku sukai daripada tiga puluh ribu pemuda yang kuat dengan pedang terhunus.”
Perhatikanlah saudaraku,
Bagaimana kedudukan dan kekuatan do ’a dalam pandangan para salafushalih. Lihatlah lagi saudaraku, bagaimana Shalahuddin Al Ayyubi, tokoh pahlawan pembebas Al Quds dari tangan pasukan salib. Dikisahkan, “Shalahuddin, ketika mendengar pasukan salib berhasil mendesak kaum Muslimin, ia tersungkur sujud kepada Allah swt sambil berdo ’a, “Ya Allah aku telah terputus dari sebab-sebab bumi untuk memenangkan agama-Mu. Tak ada yang tersisa kecuali menyerahkan semuanya kepada-Mu, sambil tetap berpegang pada ajaran-Mu dan bersandar pada karunia-Mu. Engkaulah Peno-longku dan sebaik-baik Pelindung.” Dalam sujudnya itu ia menangis dan air matanya masih menitik di antara janggut hingga membasahi sajadahnya. Dan ketika itulah Allah swt menurunkan kemenangan pasukan Islam atas pasukan salib.
Saudaraku,
Beristighfarlah dan ucapkan bulir-bulir do’a untuk para mujahidin di Palestina, Libanon dan para pejuang kebenaran di mana pun berada.Sekarang. Ucapkanlah D o ’a itu, Sekarang. Readmore »»
Saudaraku,
Bayangkanlah kegentingan yang dialami Nabiyullah Musa as saat ia dan kaumnya dikejar Fir’aun dan bala tentaranya, sampai terpojok di tepi laut. Perhatikanlah bagaimana kegentingan ini digambarkan oleh Al-Qur’anul Karim. “Maka, ketika kedua kelompok itu saling melihat, berkatalah pengikut Musa , “Sungguh kita akan benar-benar tersusul.” Musa menjawab, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya Tuhanku menyertaiku. Dia akan memberi petujuk kepadaku.” (QS.Asy Syu ’ara:62).
Betapa kegentingan dan kengerian menyergap hati kaum Bani Israel yang saat itu dipimpin Musa as. Tapi Musa as memiliki keyakinan dan ketergantungan yang kuat dengan Allah swt. Ia yakin, Allah pasti membelanya. Ia yakin, bahwa tak ada yang memiliki kekuatan kecuali Allah swt.Musa as, begitu dekat dengan Allah swt.
Saudaraku,
Mari kita lihat lagi jejak para pejuang di jalan Allah swt yang ditinggalkan dalam lembar-lembar sejarah. Kita ingin mengetahui dan turut merasakan bagaimana kedudukan keyakinan dan do ’a kepada Allah sebagai senjata paling ampuh hingga kemenangan berhasil mereka raih.
Lihatlah saudaraku,
Di malam senyap dan gelap. Malam peperangan Badar Kubro. Para sahabat radhiallahuanhum tertidur. Kecuali Rasulullah saw sedang terjaga dan shalat di samping sebuah pohon. Ia berulangkali sujud dengan mengatakan, “Yaa hayyu yaa Qayyuuum... (Wahai Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri) Rasulullah saw terus menerus mengulang-ulang ucapan itu, agar Allah swt mendatangkan kemenangan pada kaum beriman. (Al Bidayah wa An Nihayah , 5/82). Seperti itulah keyakinan berpadu permohonan yang sangat dari seorang Rasulullah saw saat menghadapi suasana genting. Lalu, ketika melihat pasukan Quraisy, ia mengatakan, “Ya Allah inilah Quraisy telah datang dengan kesombongan dan kepongahannya. Mereka mendustai Rasul-Mu. Ya Allah timpakanlah bencana kepada mereka esok.(Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, 3/168)
Umar bin Khattab meriwayatkan, detik-detik pecahnya pertempuran di Badar, Rasulullah saw memandang para sahabatnya yang berjumlah tiga ratusan orang. Lalu ia melihat barisan kaum Musyirikin yang jumlahnya lebih dari 1000 orang. Utusan Allah swt itu bersabda, “Ya Allah, berikanlah kepadaku apa yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau musnahkan kelompok Islam ini, Engkau tidak lagi disembah di muka bumi selamanya.” Kata Umar,, Rasulullah saw terus menerus berdoa sampai selendangnya terjatuh dari pundaknya. Abu Bakar ra yang memungutnya mengatakan, “Wahai Nabi Allah, cukup sudah do ’amu kepada Allah swt. Dia pasti memberimu apa yang dijanjikan kepadamu...” (HR.Ahmad)
Saudaraku,
Pernahkah kita mendengar kisah Nu ’man bin Maqran? Seorang pejuang Islam yang memimpin peperangan melawan Persia. Ketika itu, pasukan Islam telah berminggu- minggu mengepung benteng Persia yang kokoh karena pertahanannya melewati parit parit. Nu ’man berdiskusi dengan komandan perangnya. Mereka merumuskan strategi untuk memancing pasukan Persia keluar dari parit-parit mereka. Caranya, pasukan Islam berpura-pura lari meninggalkan medan tempur sampai jika orang-orang Persia keluar dari
parit, barulah pasukan Islam berbalik menyerang mereka. Nu ’man sepakat dengan strategi ini. Ia mengatakan kepada rekan-rekannya, “Nanti akulah yang akan meneriakkan takbir tiga kali. Jika kalian mendengar teriakan takbir ketiga, berarti saat itulah kalian mulai peperangan.” Setelah itu, Nu ’man pergi ke salah satu tempat dan berdo ’a kepada Allah swt dengan mengatakan, “Ya Allah, muliakanlah agamamu, menangkanlah hamba-Mu. Ya Allah aku memohon kepada-Mu agar mataku sejuk dengan kemenangan yang menjadikan Islam mulia, dan matikanlah aku dalam keadaan syahid.” Orang-orang yang mendengar do ’a Nu ’man menangis. Mereka sama-sama larut dalam munajat dan do ’a dengan penuh khusyu ’ dan tunduk.
Saudaraku,
Allah swt mengabulkan do ’a mereka. Kaum Muslimin diberikan kemenangan oleh Allah swt dengan kemenangan yang luar biasa. Allah swt juga mengabulkan do ’a Nu ’man bin Maqran karena dialah prajurit pertama yang syahid di medan perang ketika itu. (Al Bidayah wa An Nihayah, 7/89) Seorang sahabat ada yang bernama Qutaibah bin Muslim dan Muhammad bin Wasi ’. Ibnul Jauzi dalam Shifatu Shafwah menceritakan pengalaman keduanya menjelang peperangan meletus. Tiba-tiba Muhammad bin Wasi ’ menghilang dari barisan. Qutaibah lalu memerintahkan pasukannya melihat siapa yang ada di dalam masjid. Pasukannya mengatakan, “Tak ada seorangpun kecuali Muhammad bin Wasi ’. Ia sedang mengangkat jari-jarinya.” Qutaibah mengatakan,, “Jari-jarinya yang terangkat itu lebih aku sukai daripada tiga puluh ribu pemuda yang kuat dengan pedang terhunus.”
Perhatikanlah saudaraku,
Bagaimana kedudukan dan kekuatan do ’a dalam pandangan para salafushalih. Lihatlah lagi saudaraku, bagaimana Shalahuddin Al Ayyubi, tokoh pahlawan pembebas Al Quds dari tangan pasukan salib. Dikisahkan, “Shalahuddin, ketika mendengar pasukan salib berhasil mendesak kaum Muslimin, ia tersungkur sujud kepada Allah swt sambil berdo ’a, “Ya Allah aku telah terputus dari sebab-sebab bumi untuk memenangkan agama-Mu. Tak ada yang tersisa kecuali menyerahkan semuanya kepada-Mu, sambil tetap berpegang pada ajaran-Mu dan bersandar pada karunia-Mu. Engkaulah Peno-longku dan sebaik-baik Pelindung.” Dalam sujudnya itu ia menangis dan air matanya masih menitik di antara janggut hingga membasahi sajadahnya. Dan ketika itulah Allah swt menurunkan kemenangan pasukan Islam atas pasukan salib.
Saudaraku,
Beristighfarlah dan ucapkan bulir-bulir do’a untuk para mujahidin di Palestina, Libanon dan para pejuang kebenaran di mana pun berada.Sekarang. Ucapkanlah D o ’a itu, Sekarang. Readmore »»
Subscribe to:
Posts (Atom)